Malam itu ketika tidur, aku terus berpikir tentang mayatnya  yang muncul dari ingatan saat pemakaman. Seolah-olah aku telah melangkah keluar ke tubuh lain dan berdiri di samping tempat tidur lain. Aku menatap mayat ini dan kini dia terbangun dengan bunga mawar mekar dari perutnya, kesakitan.
Seketika rasanya wajar untuk menyatukan bunga-bunga itu, seakan-akan keterikatan antara kulit dan kerutan berkurang sebelum aku memulai percakapan Panjang dengannya yang terdiri dari film, hubungan, ukiran suku Asmat dan bahkan badut dengan riasan tebal.
Percakapan itu tampak sangat panjang dan nyata. Mungkin memang nyata, pikirku. Dan bahkan ketika aku bangun, aku masih mengingat dengan jernih seluruh episode dan realitas perjumpaan spiritualnya.
Dipicu oleh gemerisik daun mangga gincu Indramayu, suaranya yang serak dan berat, dan napasnya yang menghela nasib.
Drama yang ditulisnya di tengah malam membuatku membolak-balik halaman novel yang akan dia baca dan baca ulang. Kafka, Tolstoy, Jack Kerouac, Dostoevsky, dan juga aroma kolonye yang menempel di dinding.
BERSAMBUNG