Kini semuanya tampak seperti mimpi besar yang naif. Untunglah rumah itu sudah menjadi warisan bersama dengan rumah duka, sehingga setidaknya mereka punya tempat tinggal yang layak.
Tetapi perjuangan sehari-hari untuk mempertahankan kedua properti sambil bertahan hidup, sementara mereka mencoba untuk mendapatkan penghasilan yang mengalir ke rekening memberikan tekanan yang luar biasa pada pernikahan mereka yang semakin memburuk.
"Sarapan dulu sebelum ke klinik?" dia bertanya sambil mengenakan kimononya, berjalan menuju pintu, dan mencoba menyingkirkan masalah keuangan yang terus membayangi benaknya.
"Mungkin sebaiknya begitu. Jika aku bisa menghilangkan sakit kepala ini, aku akan turun sebentar lagi."
Saat kakinya menyentuh lantai kayu batang kelapa tanpa berkarpet di lantai lorong, pikiran Kuntum terus-menerus memikirkan rumah duka di sebelah. Mereka perlu membongkar bangunan sialan itu untuk mengurangi beban kehidupan mereka.
Tampaknya tidak mungkin, atau setidaknya, tidak baginya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H