Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Emosi

16 Juni 2022   15:00 Diperbarui: 16 Juni 2022   15:06 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini saya melihat seorang pria dibunuh.

Dia seorang pria pendek, kekar dan biasa saja. Saya melihat dia memprovokasi pria lain untuk berdebat. Orang kedua yang bertubuh besar menakutkan. Mereka bertengkar, bersahut-sahutan, tentang hal yang sepele. Detailnya tidak penting. Tak satu pun dari mereka peduli dengan fakta. Mereka tidak terlalu peduli dengan pendapat mereka sendiri. Mereka hanya ingin merasa marah.

Saya melihat mereka mendorong satu sama lain, pertama perlahan, lalu semakin brutal. Mereka berteriak. Mereka menjerit. Mulut mereka memuntahkan kata-kata yang hanya pernah saya baca di buku-buku lama yang dilarang. Pria pendek itu mengepalkan tangan ke belakang, dan ragu-ragu. Menunggu. Menunggu untuk melihat apakah dia akan berhenti. Menunggu untuk melihat apakah dia benar-benar bisa melakukannya.

Saya menyaksikan orang ketiga, dengan mata liar, datang dari belakang, memcahkan botol di ubun-ubun kepala pria pendek itu. Pria kedua yang bertubuh besar bergerak seolah-olah baru siuman dari pingsan dan mulai memukuli pria pendek yang telah jatuh ke lantai tanpa ampun.

Dua pria yang lebih besar menghajar pria pertama tanpa henti, tanpa lelah, dengan putus asa. Ada pancaran kegembiraan di mata pria yang dipukuli saat penyerangnya tak juga berhenti memukul. Wajahnya memar dan luka, darahnya mengalir deras.

Saya menyaksikan pria bermata liar itu menancapkan botol yang pecah ke dada pria yang dipukuli itu. Dia tertawa, mengeluarkan banyak darah, dan berteriak, "Aku bebas!"

Saya melihat kedua orang yang masih hidup itu ditangkap. Sorot mata keduanya acuh tak acuh.

Kasihan.

Orang-orang ini begitu putus asa untuk mengekspresikan diri mereka. Mereka harus terdaftar di Departemen Pengendalian Emosi. Melepas chip emosi adalah hal yang berisiko.

Saya menyaksikan ambulans mengantongi mayat pria pendek itu. Wajah mereka yang datar tak berkerut menggambarkan kendali emosi yang sangat baik. Saat petugas kebersihan membersihakn darah dari lantai, saya dengan tenang dan sopan menyelesaikan santap malam saya dan pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun