Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lelangitan Sisa Purba Senjakala

18 April 2022   21:00 Diperbarui: 18 April 2022   21:01 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita membalikkan mangkuk biru kecuali satu garis putih seperti lelaki tua dengan kepala botak tergantung dari lampu gelas melihat melalui langit berubah di hari yang sibuk membuat kita menjepit hidung untuk mengetahui mereka membakar darah di terik mentari terpaut sebagai refleksi kaca jendela tetangga bahkan tanpa menutup mesin neraka berkata dan meludah, mengetahui kita setuju untuk sekali langit sebagai ramalan untuk semua yang bisa membaca tembong serupa ikan terbang seperti yang terpampang di layar datar dengan wajah bertato besar memuja matahari, bulan dan segitiga takdir lainnya tersenyum di panas demam kita, langit yang digergaji oleh gambar-gambar membuat kita ingin menguji diri sendiri melawan kehendak kekuatan badai, langit kuburan, langit yang miring seperti penjaga yang tertidur di kaki para dewa, langit yang bergerak, langit yang gemuruh, langit yang menjadi saksi perjalanan rahasia kita meskipun kita tidak merindukan sawah ladang dan gubuk kita.

Jika burung pipit diam dan juga tidak meninggalkan jejak kecuali seperti puisi setelah para filsuf menyebut ketelanjangan, ada sesuatu di langit, udara, angin, bunyi kita, dan pada bulan Januari datanglah suku anak dalam dengan giginya yang kuat dari rimba Kerinci untuk menggerogoti lapisan tipis kerak langit dengan cara yang sama seperti kita tahu kita hidup, dengan puing-puing yang beterbangan dari tusukan cepat penguapan hantu, semakin lama semakin biru hitam dan sarung lapuk di beting bertabur gemerlap di luar kain kafan yang kita tahu, pucat karena petunjuk kita semuanya menghapus fajar emas keluar jendela berbaur kopi, warna yang kita harapkan merupakan harapan, matahari kita diluncurkan ke langit hari-hari, langit tipis yang tinggi hampir tidak memperhatikan saat meniup nafiri untuk bekerja dan menentang di bawah langit dengan matahari yang merupakan nama satu kehidupan yang mungkin dan gagasan yang kita ketahui saat kita menjalaninya, bertanya apa yang bukan langit atau di dalamnya---debu gunung berapi yang sudah mati, bintik-bintik kulit yang terpancar, tungau uranium, ranjau neutrino yang bersinar di kota megapolitan, malaikat Cro Magnon-Neandethal, langit yang kita lihat, langit yang kita ingat, langit yang kita miliki di dalam, langit yang hilang, langit di atas cangkir kopi, langit di mata gadis-gadis yang tersesat, tinggi di dalam bak truk yang melintasi tol dengan pinggiran daun jati merah kuning meranggas dan anak-anak membungkam kulit kertas kering, langit yang menjanjikan, langit yang mengancam seperti menteri marah, seperti pertengkaran yang berakhir dengan guntur, dan seorang perempuan yang melompat dari altar persembahan meja makan, langit yang awalnya terasa bagai merona.


Bandung, 18 April 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun