"Tunggu saja di sini, kami akan menghubungimu nanti. Jangan melintasi batas desa."
Desa itu seakan-akan ditinggalkan, meski masih ada kambing yang berkeliaran di sana-sini.
Aku tidak tahu untuk berapa lama aku harus menunggu. Untuk mengisi waktu, aku berjalan keluar masuk rumah-rumah yang ditinggalkan.
Aku merasa lelah, tetapi tidak yakin apakah tidur masih mendapat tempat dalam kehidupan baruku, lalu naik ke atap salah satu rumah dan melihat ke lingkungan sekitar.
Asap pertempuran membubung dari kota-kota terdekat, dan dua helikopter militer meluncur di sepanjang cakrawala. Ladang kapas mengepung desa dari segala penjuru.
Aku belum pernah melihat bunga kapas sebelumnya. Atau mungkin aku pernah melihatnya di televisi atau film dokumenter. Aku tidak ingat persis.
Aku menghabiskan hidupku bekerja di kedai kopi, kemudian sebagai sopir taksi, dan akhirnya sebagai penjaga penjara.
Ketika revolusi pecah, aku bergabung dengan pasukan oposisi. Aku berjuang sampai nafas terakhirku.
Bunga-bunga kapas tampak seperti kepingan salju, tetapi mereka pasti bunga buatan atau sinar matahari yang terik akan melelehkan semuanya.
Aku melihat seorang gadis duduk di atap rumah lain. Dia pasti tidak bisa melihatku. Dia sedang duduk di bangku kayu kecil dan menyisir rambut panjangnya dengan sisir hijau. Kulitnya cokelat terbakar matahari. Seorang wanita memanggil dari pekarangan di bawah.