Ketika berumur tujuh tahun, abangku mengatakan bahwa suatu hari dunia akan berakhir. Dia sedang membangun Tugu Monas dengan LEGO versinya. Kami tinggal di Jakarta dan setiap hari melintasi Jl. Merdeka. Meski agak jauh, tapi kami bisa melihat emasnya berubah warna seiring waktu
Kemudian kami pindah ke Padang Sidempuan, dan proyek itu adalah karya terbesarnya.
Pembalasan Hari Kiamat adalah kata yang kudengar dari mulutnya yang belum pernah kudengar sebelumnya. Aku mengulanginya berkali-kali dalam pikiranku, hari pembalasan, kedengarannya seperti hari seseorang yang bernama Kiamat melakukan pembalasan.
Dia bilang dia tahu kapan itu akan terjadi, tetapi ketika aku bertanya kapan waktunya, dia berkata untuk percaya saja.
Saat itu umurnya tiga belas tahun.
Abangku menggambar grafik kapan pandemi akan mulai melambat untuk ibu. Abangku tinggal bersama ibu dan ayah. Kini usianya tiga puluh lima.
Aku tinggal tinggal di Bandung bersama suamiku.
Kami menonton youtube sambil memasak. Kami pergi mendaki dengan sepeda gunung ke Tangkuban Perahu. Kami telah mencoba untuk hidup sederhana di antara kekacauan yang telah meliputi dunia kita, untuk melawan rasa sakit dan panik dengan optimisme dan cinta.
Abangku menelepon pagi hari saat sekolahku ditutup. Dia mencoba membantu ibu mengumpulkan masker dan vitamin ke kota Medan yang jaraknya yang jaraknya lebih hampir 500 kilometer.
Aku membayangkan dia berpakaian serba hitam, mengamati rak-rak, terkekeh seperti orang gila, mungkin benar-benar khawatir di dalam jahti, tetapi tidak pernah menunjukkannya pada ibu. Dia memegang kereta belanja, mendorongnya di belakang ibu. Aku juga mendengar ibu a tertawa.