Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengekspresikan Cinta Abadi

25 Maret 2022   06:06 Diperbarui: 25 Maret 2022   06:26 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika berumur tujuh tahun, abangku mengatakan bahwa suatu hari dunia akan berakhir. Dia sedang membangun Tugu Monas dengan LEGO versinya. Kami tinggal di Jakarta dan setiap hari melintasi Jl. Merdeka. Meski agak jauh, tapi kami bisa melihat emasnya berubah warna seiring waktu

Kemudian kami pindah ke Padang Sidempuan, dan proyek itu adalah karya terbesarnya.

Pembalasan Hari Kiamat adalah kata yang kudengar dari mulutnya yang belum pernah kudengar sebelumnya. Aku mengulanginya berkali-kali dalam pikiranku, hari pembalasan, kedengarannya seperti hari seseorang yang bernama Kiamat melakukan pembalasan.

Dia bilang dia tahu kapan itu akan terjadi, tetapi ketika aku bertanya kapan waktunya, dia berkata untuk percaya saja.

Saat itu umurnya tiga belas tahun.

Abangku menggambar grafik kapan pandemi akan mulai melambat untuk ibu. Abangku tinggal bersama ibu dan ayah. Kini usianya tiga puluh lima.

Aku tinggal tinggal di Bandung bersama suamiku.

Kami menonton youtube sambil memasak. Kami pergi mendaki dengan sepeda gunung ke Tangkuban Perahu. Kami telah mencoba untuk hidup sederhana di antara kekacauan yang telah meliputi dunia kita, untuk melawan rasa sakit dan panik dengan optimisme dan cinta.

Abangku menelepon pagi hari saat sekolahku ditutup. Dia mencoba membantu ibu mengumpulkan masker dan vitamin ke kota Medan yang jaraknya yang jaraknya lebih hampir 500 kilometer.

Aku membayangkan dia berpakaian serba hitam, mengamati rak-rak, terkekeh seperti orang gila, mungkin benar-benar khawatir di dalam jahti, tetapi tidak pernah menunjukkannya pada ibu. Dia memegang kereta belanja, mendorongnya di belakang ibu. Aku juga mendengar ibu a tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun