"Teruslah menatapku seperti itu dan aku akan mencungkil matamu," Keti melipat tangannya di dada dan mencibir ke arah Janar.
Ubai mengeluarkan dengus tawa tertahan dan Ganbatar melemparkan tulang sayap ayam hutan ke Janar. "Dasar wandu. Perempuan tidak akan membunuh kau."
"Aku ... umh," Janar tergagap dan hanya menggelengkan kepalanya.
Resi Umbara bertepuk tangan berirama pelan dan melantunkan mantra. Yang lain terdiam dan memperhatikan lelaki tua itu. Mungkin mereka tidak percaya adanya para dewa, tetapi kelihatannya tidak ada yang mau mengambil risiko dimurkai mereka.
Tabib pandita itu memandang ke langit penuh bintang dengan mata menerawang.
"Tidakkah kalian melihatnya?" Dia menatap rekan-rekannya. "Apakah telinga kalian tidak mendengarnya?"
Janar menatap Keti dengan sembunyi-sembunyi dan menganggukkan kepalanya ke tabib pandita. Keti mengangkat bahu. Resi Umbara bertepuk tangan lebih keras saat dia melantunkan mantra dengan lebih cepat. Dia melihat ke langit dan merentangkan tangannya. "Apakah kalian tidak melihatnya? Para dewa menari di langit di atas kita!"
Para begal mendongak untuk melihat langit tak berawan dengan bintang-bintang berkelap-kelip tanpa terhalangi mega. Palupi menggaruk kepalanya bingung. Ubai mengangguk-angguk berjuang untuk tetap membuka matanya. Ganbatar mengangkat tangannya dan bergumam, "Orang tua, coba minta para untuk menunjukkan wajah musuh-musuhku yang masih bernyawa di Gurun Gobi."
Pandita peramu obat itu tertawa. "Lihat! Lihat mereka. Batara Wisnu di singgasananya. Betari Sri, Batara Kamajaya dan Betari Ratih sedang menari." Resi Umbara itu tiba-tiba berdiri dan berteriak membuat kaget Ubai yang sudah terpejam. "Surya, Bayu, Agni, Indra dan Baruna sedang membandingkan kekuatan mereka, berdebat tentang siapa di antara mereka yang paling kuat."