Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Prolog)

8 Maret 2022   17:09 Diperbarui: 8 Maret 2022   17:10 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Namaku Rano, anak laki-laki berumur dua belas tahun. Anak pertama dari dua bersaudara.

Hidup di Jakarta terlalu sibuk bagi orang tuaku, makanya kami pindah dari apartemen dengan ruang tamu yang kami tempati ke daerah pinggiran kota yang sedikit kumuh. Kalau orang-orang di sini sedang berdiskusi, dialognya ditulis dengan huruf kapital.

Terdiri dari beberapa bangunan empat lantai yang compang-camping dengan tumpukan tanah di setiap simpangnya, selokan yang berbeda ukuran dan papan lintasan sebagai jembatan menyeberang.

Bangunan tempat aku tinggal bersama orang tua dan adikku tampak seperti bangunan yang telah berdiri berabad-abad. Tidak dicat dan beberapa bagian dari plesterannya telah jatuh gugur. Hitam jelaga dan lumut hijau terlihat jelas di semua bagian dinding, menjadi menonjol di lingkungan.

Aku pikir gedung tempat kami membuat iri semua orang di luar lingkungan tempat tinggalku. Pada hari pertama kami pindah, aku menguping beberapa ibu-ibu bergosip di warung tepi jalan tentang bagaimana orang yang tinggal di dalamnya selalu merasa bahwa mereka berhasil dalam hidup, suka menghina mereka yang tinggal di rumah petak sederhana yang atapnya bocor, pintu dan jendela yang hampir lepas karena engselnya menyerah pada nasib.

Tentu saja aku protes keras saat dibawa pindah ke sini. Untuk kalian ketahui, kami pernah tinggal di sebuah rumah mewah berlantai dua, lima kamar tidur berikut kolam renang di masa kejayaan Papa. Indahnya hidup saat itu!

Mobil melaju melintasi jalan beraspal mulus setiap hari. Orang-orang dengan pakaian mewah dan wangi melenggang terpontang-panting mengejar hari. Listrik melimpah sehingga lampu sorot taman pun tak perlu dimatikan pada siang hari. Tidak seperti di sini, untuk menyalakan setrika , televisi harus dimatikan. Lilin menjadi kebutuhan pokok hampir setiap malam.

Satu-satunya yang berpakaian rapi di sini hanyalah beberapa wanita tetangga di lantai empat. Wajah mereka mengilat mungkin diolesi mentega, baju ketat menutup tubuh di atas paha dan sepasang stiletto yang membuat penggunanya berjalan seperti kucing meniti tembok. Mata bersinar mengagumkan, diberi pewarna bunga kecubung yang digambar dengan berani di wajah mereka. Mereka terlihat sebagus ini hanya ketika berjalan keluar dari kompleks rusunawa.

Kalau sedang tidak ke mana-mana, mereka hanya memakai daster atau kaus lengan setali seperti lemper dibungkus daun pisang, dan rambut digulung atau ditutupi jala untuk mencegah rontok saat mengangguk-angguk mengiyakan gosip tetangga.

Itu hanya cuplikan kecil dari apa yang beredar di sini. Aku yakin kalian pasti tertarik menyaksikan kehidupan sehari-hari di rusunawa kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun