Aku menggerakkan lidahku, menelan, dan kemudian diam-diam mengucapkan beberapa suku kata ganjil dalam nama itu. Aku meniup udara, menggembungkan pipiku. Aku hampir siap seperti yang pernah kulakukan.
Aku menatap batu itu, sebuah lempengan sekitar dua pertiga tinggiku dan hampir setinggi Merlin.
Dia berdiri tegak, dekat dengan salah satu sisi hutan yang terbuka. Di sekitar kami, burung-burung bernyanyi dan pakis tumbuh lebat.
Lelaki tua itu memberi isyarat dengan tidak sabar.
Aku menarik napas dalam-dalam, dan akhirnya mengucapkan Nama Asli batu itu.
Aku menunggu sebentar. Tidak banyak yang terjadi. Aku melirik Merlin yang tetap berwajah datar. Jika aku salah mengucapkan nama, dia akan meneriakiku.
Jadi aku berbicara lagi, memanggil batu itu dengan Nama Aslinya sekali lagi, memerintahkannya untuk bergerak.
Batu Itu tetap keras kepala di tempatnya, seperti sebelumnya. Aku akan mencoba lain kali, lebih keras, tapi aku mendengar suara Merlin suara tersedak.
Wajahnya merah, membungkuk, air mata terlihat di sudut matanya. Saat dia melihatku, tak tertahankan lagi, dia tertawa terbahak-bahak. Gema gonggongan kegembiraannya begitu kuat sehingga menembus hutan dan memantul di pegunungan.