Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria Sejati

26 Februari 2022   11:00 Diperbarui: 26 Februari 2022   11:04 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pediatriccenterofroundrock.com

Imung terseok-seok masuk melalui pintu belakang. Air mata mengalir membasahi pipinya. Ayahnya di ruang keluarga menonton sepak bola di TV.

Dia berdiri dekat kursi malas, berusaha untuk tidak terisak, sampai akhirnya ayahnya mendongak, menarik napas panjang.

"Astagfirullah, Mung," katanya, meletakkan cangkir kopinya. "Lagi?"

Imung terisak dan mengangguk sedih. Ayahnya mendorong kursi ke depan dan berbalik ke arahnya. “Apakah itu anak yang sama? Si Fery?”

Lagi-lagi Imung mengangguk.

Fery Sofyan adalah kutukan bagi Imung. Dia telah menjadi pembuat onar di sekolah sejak dia harus mengulang kelas dua tiga kali berturut-turut, dan Imung sudah lama belajar menghindarinya. Tetapi tahun lalu Fery tumbuh lebih tinggi sekitar lima belas sentimeter darinya dan misalinya mulai muncul. Suaranya semakin serak, dan kebutuhannya yang nyata untuk merundung manusia lain yang lebih rendah di sekitarnya telah meningkat.

Imung adalah salah satu target favoritnya karena di kelas lima Fery ketahuan menyontek Imung selama ujian matematika, dan Fery menyimpulkan bahwa Imunglah yang mengadukannya ke guru. Jadi hari ini, ketika Imung memutar sudut gang dalam perjalanan pulang dan bertemu Fery yang bersandar di tembok pagar sambil merokok, dia sudah tahu apa yang akan terjadi.

Kini, saat dia berdiri di depan ayahnya, dia masih bisa merasakan tanah dan debu dari trotoar di mulutnya, dan dia bisa merasakan bekas lutut Fery di punggungnya dan rasa sakit di bahunya karena lengannya dipelintir ke belakang. Namun, yang paling menyakitkan adalah rasa malu dan terhina yang membakar wajahnya.

"Oke, ini sudah keterlaluan," kata ayahnya sambil bangkit dari tempat duduknya. "Ikut aku."

Mereka pergi ke luar ke halaman belakang dan ayahnya berbalik menghadapnya. "Sekarang, angkat tanganmu seperti ini," katanya, bergaya bagai seorang petinju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun