Manekin sangat mirip manusia hidup. Harun tahu itu. Meskipun kaku, dipasang diam di tempatnya dan dikungkung dalam raga plastik, manekin di setiap gerai di mal dibuat dengan sentuhan tangan manusia. Karyawan yang mendandani mereka, memindahkannya, dan menampilkannya di rak pajangan meninggalkan jejak sebagian kecil dari diri mereka di dalam pekerjaan mereka--semburat kepribadian di setiap patung. Masing-masing adalah pernyataan bentuk manusia yang hidup dan bernapas.
Itu sebabnya Harun tidak sepenuhnya terkejut ketika Sri pertama kali menoleh. Dia bertanggung jawab di bagian obral selama lebih dari empat tahun. Dia tahu setiap model berdasarkan nama, nomor seri, dan gaya.
Dia biasanya memajang Sri dalam gaun kasual pendek, dengan warna-warna hangat, dan sepasang sepatu slingback kuning yang tidak pernah berhasil keluar dari rak. Dia juga mendandani Julian yang selalu berpose di ujung meja pajangan di kursi silindris dengan lengan terkulai di bawah kaus longgarnya. Dan di sebelahnya adalah Ben, kurus dan ramping dengan celana khaki dan rajutan lengan panjang.
Mereka bertiga membentuk trio yang unik, dengan Sri berdiri sendiri di ujung mejanya, gadis pemberani dan petualang dalam balutan gaun berwarna cerah.
Awalnya, Harun menganggap bahwa perubahan Sri merupakan lelucon. Seseorang telah menyelinap masuk lebih awal, atau pulang terlambat, dan memutar kepala manekin untuk menghadap pintu masuk bagian obral. Dia menduga Helen dari layanan pelanggan, atau Mustafa dari gudang. Mereka punya banyak waktu senggang.
Dia tersenyum dan menyesuaikan kepala Sri, menghadap ke arah lorong yang luas seperti labirin dan lautan rak yang tidak teratur, ke tempat para pembeli akan berada. Dia melangkah kembali ke ruang kerjanya, bertanya-tanya mengapa rekannya tidak mengubah kepala Julian dan Ben menghadap ke arahnya juga.
Hal itu menjadi semacam permainan yang berulang, siklus di bawah lampu ritel cekung yang stagnan.
Dia menatap layar monitor komputernya selama sepuluh menit, mengotak-atik laporan penjualan triwulanan, lalu mengintip ke belakang dan melihat wajah Sri menatap ke arahnya dari atas rak diskon. Dia mengembuskan napas oanjang, bangkit dari kursinya, dan mengembalikannya ke posisi semula. Kebosanan membuat Harus merasa seperti orang tua baru, mengawasi tempat tidur bayi mereka sepanjang malam.
Hari-hari berlalu, dan terlepas dari upaya terbaik Harun, pelakunya tidak pernah ditemukan. Perjalanan waktu mengubah yang unik menjadi aneh. Harus mulai berkeringat dingin setiap merasakan Sri menoleh menatapnya.
Jumat malam yang suram diliputi mega mendung. Pembeli terakhir keluar dari gerbang utama dan department store menjadi ruang kesunyian tumpukan barang dagangan, Harun mulai memahami apa artinya semua itu. Dia melangkah keluar dari kantornya untuk menemukan Julian bersandar tanpa tonggak, tangannya menggenggam ujung meja. Ben dengan malu-malu berjongkok bersembunyi di belakang Julian. Sri, dengan busananya yang berani, melihat ke arah Harun, mengulurkan tangan, seolah mengajaknya berdansa.
Dengan gugup, dia mendekati mereka perlahan. Dia mengerti bahwa ini bukan pekerjaan manusia lagi. Ini sama sekali berbeda.
Harun mengulurkan tangan, terhibur dengan keakraban kehadiran mereka, dan meletakkan telapak tangannya di telapak tangan Sri. Yang mengejutkannya, tangan itu terasa hangat di ruangan ber-AC. Plastik itu terasa kenyal saat disentuh. Sri menyelipkan dua jari ke atas dan menggenggam pergelangan tangannya.
Lampu-lampu meredup seiring berlalunya waktu, mengaburkan bentuk-bentuk manekin menjadi bayangan. Untuk sesaat, garis batas antara manusia dan boneka kabur, dan Harun bertanya-tanya apakah detak jantung yang dia rasakan benar-benar berasal dari dadanya.
Bandung, 26 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H