Saat berjalan melintasi kota, Betti tiba-tiba merasa ingin menangis. Tidak ada alasan tertentu. Hatinya sedang senang, baru saja menyelesaikan kesepakatan yang sukses dengan klien, dan sedang dalam perjalanan kembali ke kantor.
Dia punya janji dengan beberapa teman untuk makan malam malam itu, dan menantikan akhir pekan yang akan datang. Dia kekasihnya berencana merental mobil untuk akhir pekan yang akan datang dan pergi ke pedesaan, hanya untuk bersenang-senang. Jadi tidak ada yang salah sehingga membuatnya menangis, tapi begitulah yang terjadi.
Perasaan itu datang tiba-tiba, dua atau mungkin tiga kali seminggu. Dia bisa merasakannya kapan saja, di tempat kerja atau di rumah, kapan saja, siang atau malam.Â
Dia telah belajar bagaimana mengendalikannya, agar tidak jatuh dalam situasi yang memalukan seperti saat pertemuan bisnis atau saat berduaan dengan pacarnya.Â
Namun dia juga belajar untuk tidak mengabaikannya. Jika dia tidak melepaskannya, perlahan-lahan rasa itu membangun kekuatan dan akhirnya menjadi tekanan mengerikan di kepalanya yang menghalangi kemampuannya untuk memikirkan hal lain.
Jadi saat dia berjalan di sepanjang trotoar pusat kota yang sibuk, dia mulai mencari tempat di mana dia bisa menangis dengan tenang.
Selama bertahun-tahun, dia menangis di banyak tempat: kamar hotel, kamar mandi restoran, mobil yang diparkir, bahkan pernah di bawah bangku tribun di pertandingan sepak bola keponakannya. Tapi dari pengalaman panjang, tempat favoritnya adalah pojok dinding masjid, terutama dinding masjid kuno yang lapuk.
Itu adalah satu-satunya tempat umum yang bisa dia gunakan untuk menangis sepuasnya. Dia bisa duduk bersimpuh dan menangis selama dia mau dan tidak ada yang akan mengganggunya.Â
Itu seperti yang diharapkan dari seorang perempuan. Orang hanya berasumsi bahwa dia sedang mempunyai masalah pribadi, dan bahwa hidayah telah membuatnya menangis.
Jadi, dengan lega dia melihat sebuah masijd seperti itu di depannya. Dia berjalan ke sana dengan cepat dan masuk.