Pintu berderit terbuka dan kami berada di aula utama yang panjang. Debu menempel di karpet dan dan meja aula yang menampung jangat mati dan rapuh. Ada bau yang tidak wajar biasa dan sesuatu yang tidak berwujud namun kuat terasa - sepi.
"Sepertinya dia tidak suka bersih-bersih," kata adik perempuanku, Delilah. "Van, tolong nyalakan lampunya."
Aku menekan sakelar dan bola lampu kuning lemah berkedip menjadi semacam penanda waktu, nyaris tak berdampak pada suasana muram.
Kami melanjutkan ke koridor di mana pencahayaannya berasal dari lampu sorot yang mencolok. Setidaknya kami bisa melihat deretan buku yang tertutup debu yang memenuhi rak dari lantai ke langit-langit, untuk apa adik bungsu kami menghabiskan uangnya selama bertahun-tahun. Hampir semuanya sampul keras. Beberapa dengan sidik jari di sampul berdebu, mungkin dibaca baru-baru ini.
Aku mencabut satu. The Illustrated Secret History of the World karya Mark Booth. Tampak rumit dan mahal.
"Oh, dasar pencuri!" seru Delilah sambil mengangkat Andersen: The Illustrated Fairy Tales of Hans Christian Andersen dan membukanya untuk menunjukkan namanya. "Dia bilang dia tidak mengambilnya. Selama bertahun-tahun dan dia menyembunyikannya." Delilah seperti akan menangis.
"Itu hanya sebuah buku," kataku.
"Ya, dua lembar karton dan setumpuk kertas di antaranya, ya, aku tahu," katanya, sarkastis, menahan emosi.
Kami melanjutkan melalui kamar-kamar kecil yang penuh sesak dengan barang-barang antik dan pernak-pernik. Meja-meja kecil di mana-mana, ditutupi dengan pot-pot berisi aksesoris. Lalu ada ornamen, vas kosong, cangkir dan piring porselen, beberapa digunakan dan dibiarkan mengering, vas kristal, bungkus kartu remi. Semuanya tampak diabaikan dan berbau apak. Bahkan di wastafel dapur setumpuk piring yang belum dicuci menjadi lahan jamur.
"Sepertinya Fadli anak kesayangan Mama tidak pernah terburu-buru untuk membuang sesuatu," kataku.