Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Payah!

16 Februari 2022   11:28 Diperbarui: 16 Februari 2022   11:35 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alya mencoba meredam gemetarnya saat berdiri di jendela rumah pohon, menyeimbangkan balon air hijau bulat di ujung spatula. Dari bawah, terdengar gelak tawa parau rombongan bocah laki-laki.

"Mereka datang!" bisik Enin.

Alya meletakkan ujung jari tangannya yang bebas di ujung spatula seperti yang ditunjukkan Upi padanya. Butir-butir keringat menghias dahinya saat dia bersiap untuk menembak. Dia menelan ludah dengan susah payah.

Tiga anak laki-laki muncul, melompat-lompat seperti monyet. Dengan kedutan pergelangan tangannya, dia menjentikkan spatula ke atas dan ke depan, melontarkan balon. Benda itu meluncur dalam lintasan parabola di udara musim kemarau yang lembap dan mendarat tepat di ubun-ubun Arman.

Upi dan Enin tertawa terbahak-bahak.

"Tembakan jitu!" kata Upi.

Alya merunduk di bawah jendela dan merasakan otot-ototnya mengendur saat dia duduk di lantai papan dan ikut tertawa bersama anak-anak lain. Secara resmi dia sudah diterima menjadi anggota geng.

***

Beberapa menit sesudahnya, Arman yang basah tapi terbakar amarah, mondar-mandir di halaman belakang rumahnya. Pendi dan Ucup duduk di tangga teras, tidak dapat menahan tawa mereka yang semakin memicu kemarahan Arman.

"Aku muak dengan mereka! Kita harus membalas dendam!"

Pendi dan Ucup mungkin bahkan tidak tahu apa artinya balas dendam. Kalau tidak, kata itu pasti telah menghapus senyum dari wajah bodoh mereka dan mengingatkan mereka mengapa dia adalah ketua geng mereka, meskipun tidak resmi.

"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Pendi.

Arman berhenti mondar-mandir dan menyipitkan matanya. "Kita akan merampok simpanan permen mereka."

Mata anak-anak laki-laki itu melebar. Gudang permen rumah pohon adalah urban legend di lingkungan mereka.

***

Senja mereda, melukis langit dengan awan berpola kawin silang isi jeruk bali dan jeruk keprok.

Ucup mengintip melalui teropongnya uang ditujukan ke rumah pohon.

"Mereka pergi!" dia mengumumkan.

"Yakin?" tanya Pendi.

"Tentu saja aku yakin, bodoh. Mereka sedang menuruni tangga sekarang."

Arman menyeringai. "Bagus sekali. Sekarang waktunya. Ingat tugas masing-masing kalian?"

Pendi memutar bola matanya. "Yeah," gumamnya.

"Ada masalah?" Arman menuntut. Seorang ketua geng yang tegas tidak akan menerima penghinaan seperti itu.

"Aku tidak mau menjadi pengintai. Tidak menyenangkan."

Arman menahan diri untuk tidak menyuruh Pendi tutup mulut dan melakukan apa yang dia suruh. Dia tahu, pendekatan yang lebih lembut akan membuahkan hasil yang lebih baik.

"Ini pekerjaan penting!" Dia menepuk pundak Pendi. "Pengawasan yang baik sangat berguna untuk keberhasilan operasi. Dan kamu akan mendapatkan permen yang sama seperti kami berdua."

Pendi masih tampak tak yakin, tetapi setidaknya terlihat tidak terlalu sedih.

"O,h baiklah." Dia mengambil sapu yang tergeletak di tanah di sampingnya.

Arman menatapnya penuh harap.

"Aku berjaga-jaga, dan jika aku melihat ada yang datang atau tanda-tanda bakal ada masalah, aku memberi isyarat dengan membunyikan lonceng dengan gagang sapu."

"Bagus." Arman mengangguk. "Ucup?"

"Aku sudah menulis catatannya."

Dari saku ranselnya, Ucup mengeluarkan selembar kertas. Huruf-huruf balok besar dengan spidol merah mengancam di atasnya. Dia membaca dengan keras, "Balas dendam itu manis, dan kalian semua payah! Armada Arman."

"Kalian yakin harus ditulis Armada Arman?" tanya Pendi. "Cewek-cewek itu akan tahu kalau kita ... atau setidaknya kamu... yang mengambil permen mereka."

Pendi hanya sirik. Arman adalah pemimpin, jadi masuk akal jika geng mereka memakai namanya.

Selain itu, Armada Arman jauh lebih baik daripada Denbro gengnya Broto atau Brigade Brita. Nama Pendi dan Ucup tidak bagus dijadikan nama geng.

"Justru kita mau mereka tahu siapa yang mengambil permen itu," kata Arman. "Itu akan mengajari mereka untuk tidak main-main dengan kita."

Pendi mengangguk dan mengangkat bahu secara bersamaan.

Arman tersenyum tapi mengatupkan gusinya. Kalau Pendi terus-terusan mengejeknya, dia mungkin akan mendapatkan bagian permen yang lebih sedikit.

"Oke, Pendi mengawasi keadaan, Ucup dan aku naik. Tempat penyimpanan permen mungkin tersembunyi, jadi aku akan mencari di sebelah kanan, dan Ucup, kamu cari di sebelah kiri." Arman menunjuk tangannya ke kiri dan ke kanan.

"Kiri ke sana," kata Ucup, menganggukkan kepalanya ke arah yang berlawanan dengan yang ditunjuk Arman.

Lubang hidung Arman membesar.

"Aku bilang, aku ke kiri. Ucup, kamu ke kanan!"

Astaga, Kuping Ucup perlu diperiksa ke dokter. Bagian permennya mungkin harus dipotong juga.

"Haha," Pendi terkekeh. "Ucup kucing."

Arman dan Ucup menatapnya hampa. "Kalian tahu... Unyil kucing?"

"Bisakah kita fokus di sini?" Arman mendengus.

"Maaf," gumam Pendi dan mengalihkan pandangannya ke tanah.

"Siapa pun yang menemukan permen itu, masukkan ke dalam ransel. Kita tidak tahu berapa banyak, tapi aku dan Ucup akan membaginya ke dalam ransel masing-masing. Lalu keluar dari sana dengan cepat dan bertemu di belakang rumahku. Paham?"

"Pahaaam!" ucup dan Pendi serempak menjawab.

***

Saat cahaya bulan sepenuhnya menghilang dan dengung jangkrik reda berubah menjadi keheningan, anak-anak itu memulai misi mereka, merayap ke halaman belakang rumah Upi.

Pendi menyiapkan sapunya dan berjongkok untuk membuat dirinya tidak mencolok sementara Arman dan Ucup melesat lari ke pohon. Arman mencengkeram tali tangga dan mulai memanjat dengan Ucup menyusul di belakangnya.

Ketika dia sampai di puncak, Arman mencibir pada tanda "Dilarang Masuk!" di pintu masuk, mendorongnya hingga terbuka, dan merangkak ke dalam rumah pohon. Dia menyalakan lampu di kepalanya dan menyapu ruangan lampu sorotnya. Di salah satu dinding, sebuah kotak besar berwarna merah muda diletakkan di atas meja kayu bercat putih.

"Pasti itu kotak permennya!" kata Arman saat Ucup muncul menerobos pintu dan menyalakan lampu kepalanya.

"Gampang banget!" Ucup tersenyum dan mengeluarkan kertas catatan dari ranselnya.

Keduanya melangkah ke arah kotak itu. Arman menjilat bibirnya, melepaskan kait depan, dan membuka tutupnya.

Terdengar bunyi 'klik', disusul 'pop'.

Saat lonceng berdentang di kejauhan, sorot lampu strobo mainan menyilaukan mata keduanya, disusul raungan sirene yang memekakkan telinga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun