"Mengapa Anda menghantui gedung kesenian ini?" Profesor Doktor Saraswati, pakar paranormal, bertanya pada hantu yang melayang di depan tirai kiri panggung.
"Oooh...," erang si hantu. "Kepalakuuu...."
"Jangan banyak drama, jawab pertanyaan saya."
Hantu itu menghela napas panjang berembun.
"Ngapain juga aku repot-repot menghantui tempat ini kalau kamu tidak mau ditakut-takutin?"
Di samping Saras, Detektif Sanjo Kaimano mencibir. "Jangan coba-coba menakut-nakuti Saras. Dia sendiri juga makhluk astral, tapi dia tidak akan memberitahuku dia itu apa, atau kekuatan apa yang dia punya."
"Apa yang Anda sebut keterampilan deduktif saya?" Saras menyeringai pada Detektif Sanjo sebelum kembali menoleh ke si hantu gedung pertunjukan. "Apakah Anda akan memberi tahu kami apa yang Anda inginkan, atau kami akan mengusir Anda secara paksa?"
"Baiklah." Hantu itu melayang turun sampai dia muncul berdiri di lantai panggung. Penata penata panggung dengan wajah pucat dan gigi taring mencuat sedang mengatur layar, tidak memedulikan hantu itu. Warga kota Pedok sudah terbiasa dengan kejadian paranormal.
"Namaku Pietro Asmaranov. Aku datang untuk membalas dendam," kata hantu itu. "Aku bekerja di gedung pertunjukan ini ini lebih dari seratus tahun yang lalu. Lihat tiang-tiang di atas itu."
Saras dan Sanjo sama-sama memiringkan kepala untuk mengintip ke atas lampu pentas yang menyala terang. Layar, properti panggung, dan peralatan penerangan digantung di palang langit-langit dengan katrol.
"Aku sedang mengecat ulang lantai panggung," lanjut hantu itu, "ketika seseorang melepaskan katrol tirai utama. Bum! Semuanya jatuh menimpa kepalaku. Aku telah menunggu di alam arwah sejak itu, berjuang untuk menampakkan diriku dan menuntut balas dendam."
"Anggap saja ceritamu benar," kata Detektif Sanjo, "siapa pun yang melepas katrol sudah lama mati."
"Belum tentu," kata Saras. "Sebagian besar penduduk Pedok adalah makhluk berumur panjang."
Mereka berdua berhenti sejenak untuk melihat penata panggung menggelindingkan tangga di balik tirai.
Terdengar suara berderak dari sistem audio gedung. "Hei, hantu dan teman-temannya," terdengar suara wanita yang membuat bulu kuduk berdiri. "Mereka akan membawa set jembatan dalam beberapa menit. Aku ingin kalian pindah di atas panggung, onstage."
"Aku adalah orang yang sudah meninggal yang mencoba mengungkapkan identitas penjahat yang membunuhku!" teriak Pietro, melambaikan tangan ke arah bilik suara.
Lagi-lagi terdengar suara menggelegar. "terserah apa pun yang kalian ingin lakukan. Lakukan saja onstage."
Sambil menghela napas panjang berembun, hantu itu melayang menuju kotak orkestra.
"Onstage, hantu penasaran bodoh!"
Saras meraih tangan Detektif Sanjo dan menariknya ke belakang panggung. Pietro mengikuti, menggerutu tentang kurangnya rasa hormat kepada orang yang telah mati seabad lebih.
"Apa pun masalahnya," kata hantu itu, "aku di sini untuk mengidentifikasi orang yang licik, pembunuh, pendendam, pembunuh---"
"Tadi sudah," sambar Detektif Sanjo.
Pietro memelototinya. "---yang kejam, sehingga kalian bisa melihat keadilan ditegakkan."
Dia mengembangkan jarinya yang tembus pandang ke penata panggung bertaring yang sedang menyesuaikan tangga. "Itu dia!"
Penata panggung membeku. "Apa? Aku belum melakukan apa-apa."
"Bohong!"
Saraswati melipat tangannya. "Sangat dramatis, Piet. Bolehkah saya memanggil Anda Piet?"
"Tidak."
"Saya tetap melakukannya, Piet. Sekarang setelah Anda menuntaskan drama Anda, mengapa Anda tidak memberi tahu kami apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ya," kata Detektif Sanjo sambil menatap hantu itu. "Kamu jelas berbohong."
"Bagaimana kalian bisa tahu?"
 "Jika Anda benar-benar seorang penata panggung profesional," kata Saras, "Anda akan tahu bahwa onstage berarti menjauh dari penonton. Bukan ke depan panggung."
"Ah, sialan!" Pietro menepukkan telapak tangannya yang tembus pandang ke pahanya. "Aku seharusnya tahu itu. Sulit menggunakan internet untuk penelitian ketika kamu mati penasaran."
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan di gedung pertunjukan ini?" tanya Detektif Sanjo.
Hantu itu tampak murung. "Bersembunyi. Dari penculik."
Jidat Saras berkerut. "Penculik?"
"Ya. Dunia makhluk gaib lagi heboh dan panik. Ada yang menculik kami. Tidak ada yang tahu siapa atau mengapa."
Sanjo melirik Saras. "Kami belum mendengar apa pun tentang ini, tetapi kami akan menyelidikinya."
"Sementara itu," kata Saras, "para pemain dan kru Dardanella Perjuangan akan menampilkan lakon Si Manis Jembatan Ancol mulai nanti malam. Mereka akan menghargai Anda jika Anda meninggalkan mereka sendirian."
"Hei!" terdengar suara menggelegar saat suara tanpa tubuh itu berteriak dari bilik suara. "Jangan sebut nama perempuan jalang itu di sini, nona!"
Saras tersipu. "Maaf!"
Ketika Pietro melayang dengan wajah muram menembus dinding di dekatnya, Detektif Sanjo menatap Saras.
"Kurasa kau tidak tahu segalanya, kalau begitu. Aku mulai bertanya-tanya."
"Petunjuk lain untuk membantu Anda mengetahui siapa saya?"
"Aku akan memecahkan misteri ini suatu hari nanti. Bahkan jika itu membutuhkan waktu seumur hidup."
"Itu mungkin saja. Seratus tahun lagi, mungkin."
Saras menggandeng tangan Sanjo saat mereka melangkah keluar dari gedung kesenian.
Bandung, 12 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H