Pintu kamar terbuka. Seorang wanita masuk membawa nampan.
"Sudah sadar?" tanyanya.
Aku mengangguk. Kepalaku berdenyut.
"Him, kamu kok bisa tergeletak di jalanan begitu. Sebaiknya nanti kita ke rumah sakit untuk memeriksa kakimu." Aku hanya berkedip. Dia menatapku.
"Astaga! Kamu enggak ingat aku? Aku Ghea! Kita dulu satu SMP."
Dan memori lama mengalir membanjiri kepalaku bagai film hitam putih yang diputar dengan proyektor seluloid 35mm.
Ghea. Gadis manis berkacamata seragam putih biru dengan rambut kuncir kuda. Dulu aku sering menggodanya yang dibalasnya dengan senyum tanpa suara. Di lorong sekolah, kantin, lapangan basket, laboratorium, perpustakaan. Tiga tahun dan hanya itu yang bisa kuingat tentangnya. Bukan 'hanya'. Itulah kenangan termanis bersamanya.
Dia tinggal sendirian. Tak pernah menikah karena merawat mendiang papanya yang sakit-sakitan. Lelaki cinta pertamanya itu meninggal setahun silam.
Singkat cerita, kakiku digips, dan Ghea mengizinkanku tinggal di rumahnya sampai sembuh. Dia bekerja sebagai guru honorer di sebuah Sekolah Dasar. Karena aku sering ditinggal sendiri, dia mengisi rekening tabunganku dengan uang 'sekadar'nya. "Supaya kalau kamu butuh sesuatu bisa pesan online,"Â katanya.
Sebagian uang itu kuputar di pasar modal. Bintang keberuntungan berada di atas kepalaku. Profit yang kudapat dalam enam bulan tergeletak di ranjang melebihi dari apa yang kuhasilkan selama tujuh belas tahun kurang dua minggu pernikahanku dengan mantan. Aku juga mengembangkan hobi baru dalam bidang menulis puisi dan cerpen. Awalnya, tulisanku hanya kuunggah di platform online.Â
Dan begitu bisa berjalan lagi, aku melamar Ghea. Kami menikah secara sederhana di KUA.