Bertahun-tahun yang lalu, saat masih kuliah di Yogya, aku menyukai gadis yang kukenal pada suatu malam di sebuah bar tempat kongkow mahasiswa di Prawirotaman.
Dia dari Institut Seni Jurusan Seni Drama dan apa yang kuketahui tentang drama tak lebih dari dua kata.
Aku sendiri mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian. Sebenarnya aku kuliah untuk membuat ibuku bahagia. Aku tahu bahwa saya akan kembali ke kampung halaman untuk bekerja di pertanian keluarga segera setelah menjadi sarjana. Tapi gadis ini, dia adalah gadis tercantik yang pernah kulihat dalam hidupku, jadi aku berusaha mati-matian untuk terlihat tertarik saat dia berbicara tentang drama yang pernah dia mainkan dan tentang aktor terkenal yang ingin dia temui suatu hari nanti.
Akhirnya, setelah beberapa gelas bir, aku memberanikan diri untuk mengajaknya kencan, dan di luar dugaanku, dia menjawab ya ... dengan satu syarat. Dia ingin aku membawanya untuk menonton sebuah drama yang judulnya aneh, "Menunggu Godot".
Dengan mengenakan kaus Hammer terbaikku, sepatu Warrior dan kemeja flanel kotak-kotak longgar, aku duduk menonton tanpa mengerti sedikit pun isi pertunjukan itu. Tapi gadis seni drama duduk di sebelahku, kulitnya tampak begitu mulus di sorot cahaya dari panggung, dan matanya bersinar saat dia melihat, dan dia berbau harum. Jadi aku menyimak dengan sungguh-sungguh kata per kata.
Lakon sandiwara yang aneh, kalau kalian bertanya apa pendapatku. Tentang dua orang yang mengenakan topi aneh dan nongkrong di tempat barang rongsokan atau semacam itu, berbicara satu sama lain tentang hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali. Aku tidak mengarang atau melebih-lebihkan. Kedua orang ini hanya berbicara omong kosong. Aku mengira mereka sedang menunggu seseorang bernama Godot, tetapi Godot tidak pernah muncul. Ada beberapa orang lain yang muncul selama beberapa menit tetapi lebih banyak hanya dua orang dengan topi aneh itu.
Aku melihat ke sekeliling dan ternyata orang lain tersenyum dan mengangguk, membuatku merasa seperti orang udik yang bodoh.
Di akhir pertunjukan, gadis seni drama itu bertanya apa pendapatku. Aku meraba-raba mencari jawaban.
"Benar-benar tidak biasa," kataku. Dia tersenyum dan membiarkanku mengantarnya kembali ke asramanya. Aku mengucapkan terima kasih padanya untuk malam itu dan terkejut ketika dia mencium pipiku sebelum mengucapkan selamat malam.
Minggu berikutnya liburan semester. Aku pulang ke rumah untuk membantu ayah di lahan pertanian. Saat membawa traktor membajak di sawah orang sekampung yang kukenal dengan baik, pikiranku terus saja kembali ke drama itu. Sungguh mengherankan ketika ternyata aku hafal beberapa baris dialog. "Kita menunggu. Kita bosan. Tidak, jangan protes, kita bosan setengah mati, tidak salah lagi."