Dokter tua itu sendirian kini, di ruang dokter. Malam larut malam.
Sebagian besar rekannya telah berada di rumah berjam-jam lewat. Selain dua yang di UGD, dia adalah satu-satunya dokter.
Tentu saja, tidak banyak dokter di rumah sakit kecil dengan 49 tempat tidur. Tidak pernah ada banyak dokter, bahkan pada jam tersibuk.
Bukan berarti rumah sakit tidak sibuk. Selalu ada perawat atau petugas lab atau teknisi radiologi atau juru tulis atau cleaning service, pengunjung merawat pasien dan keluarganya, tetapi pada jam seperti ini, dokter tua itu menguasai ruang dokter itu sepenuhnya.
Dia menyesap secangkir kopi dan mendongak dari sofa kecil menatap jam dinding. Hampir tengah malam.
Dia memikirkan dua hal yang harus dia lakukan malam ini sebelum pulang. Yang satu baik. Satunya lagi buruk.
Dia menyesap kopi lagi dan memikirkan kembali tiga puluh tahun praktiknya sebagai dokter umum di kota kecil ini.
Banyak pasang surut bertahun-tahun, tetapi dia tidak dapat mengingat saat-saat yang lebih tinggi dan lebih rendah sedekat malam ini.
Tepat di luar pintu ruang dokter, Â ada sebuah selasar. Dan jika dia berbelok ke kanan, dia akan menuju ke Ruang Pranatal dan Perinatal. Salah satu pasiennya akan melahirkan anak pertama. Seorang perempuan muda, baru keluar dari masa remajanya.
Dokter telah mengenal gadis itu dari janin karena dia yang membantu kelahirannya, di tahun-tahun awal praktiknya. Dia yang merawat radang tenggorokan dan luka lututnya sebagai seorang gadis, kemudian menyaksikannya mekar di masa remajanya, dan telah melakukan pemeriksaan panggul ketika dia datang untuk kunjungan pranatal pertamanya. Persalinannya berjalan lambat tetapi normal, dan nanti malam dia akan menyambut generasi ketiga dalam praktiknya.
Tetapi jika dia berbelok ke kiri di lorong di luar ruang tunggu, dia akan menuju ke Unit Perawatan Intensif. Pemandangan yang berbeda sedang berlangsung.