Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Prosa Puisi atau Puisi Prosa?

13 Agustus 2021   19:00 Diperbarui: 13 Agustus 2021   19:08 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Tentu saja secara kaidah alih bahasa, prose poetry diterjemahkan menjadi puisi prosa. Namun, bukankah dalam bahasa Indonesia diterangkan-menerangkan atau menerangkan-diterangkan adalah ciri penyelewengan yang dilestarikan? Dan jika pun difatwa haram, penyair majenun terbebas dengan dalih poetica licentia. Yang disimpulkan sebagai kegamangan berpuisi dibentuk menjadi prosa. Atau prosa yang digenit-genitkan menjadi bunyi puisi. Atau, untuk kamu penggemar ilmiah-ilmiahan: ketimbang menggunakan ayat, tetap melestarikan sifat puitis seperti penggunaan tamsil dan efek emosi yang diagung-agungkan bagai gurat lembayung senja.

Lirik menolak untuk mengisi ruang laman kosong. Yang kosong biarlah hampa. Stanza-stanza merayakan lubang putih. Mengakui kebukanan. Pujangga jazz Clarck Coolidge bermanifesto bahwa "menciptakan berarti membuat perjanjian dengan nonsense." Atau seperti tutur Heather McHugh, "puisi adalah seni menelikung kata mengisi lembar kosong ...." Aku tak ingat seterusnya.  

Tentu saja puisi prosa-atau asorp isiup, jika dibaca dari kanan ke kiri-bukan fiksi kilat. Bukan flash fiction. Bukan. Setiap hari aku menulis flash fiction. Biasanya dua, seperti minum bakteri baik. Setiap hari pula aku menulis prosa puisi-atau isiup asrop, jika dibaca dari kanan-dengan menempatkan margin, kekosongan di dalam teks. Aku mengolah potongan, lompatan, staccato, diskontinuitas, volta, pergeseran referensi, dan lain sebagainya. "Menanam spasi dan tanda baca di celah kata," aku menyebutnya. Kolase kata. Mungkin, ini caraku untuk mengatakan aku tetap melangkah. Meski setiap hari dari bangun ke kamar mandi untuk pipis hingga pipis sebelum tidur malam hanya selangkah - tiga langkah. Selama tujuh tahun sudah. Sampai mati nanti.

***

BALIHO

Ikhwanul Halim

puting beliung gejolak intrik politik. yang jujur mundur si pandir alingkan cahaya mentari hadir pada ruang publik. defisiensi vitamin penguat tulang. diplomasi basa basi kocar kacir menjadi ... kredo medioker. masa ketidakpastian melahirkan kampanye panas dari rahim waham halusinasi yang kita alami. sekarang. kontroversial hingga banal. kepak kegilaan moncong serigala berbulu kucing persia, lemparkan saja bantuan ke kerumunan di jalan. warnai becak dengan larik bendera. matamu bukan matamu, dagadu.  

Bandung, 13 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun