Sekarang untuk mata. Mata adalah yang terakhir dan paling penting.
Aku membuat lukisan potret, bukan dari model hidup tetapi dari pikiran, ingatan, wajah yang terlihat secara sepintas yang kubawa ke kanvas dengan cat minyak. Setelah menambahkan mata, lukisan bukan lagi merupakan susunan sapuan kuas. Wajah itu menjadi hidup. Mata memberi jiwa.
Meskipun wajah ini memiliki kulit gelap dan rambut hitam, Aku memilih warna biru pucat untuk mata. Aku tidak bisa mengatakan alasannya.
Secara perlahan aku menyapu kuas untuk mencapai rona yang kuinginkan, menggelapkan pupil, menggunakan sapuan kuas lembut untuk membuat warna putih menjadi lebih matural. Setelahnya, aku berdiri kembali untuk melihat hasilnya.
Sumini manatap ke arahku. Matanya, mata yang baru kulukis beberapa saat yang lalu penatapku, menuduh.
Mengapa? Mengapa baru sekarang?
Aku mundur, memalingkan wajah, lalu kembali menatap lukisan itu. Tidak ada kesalahan. Itu Sumini.
Aku meletakkan kuas, menyeka tanganku dengan kain lap dan meninggalkan ruangan.
Dulu. Permainan anak-anak yang konyol.
Kenapa sekarang?