Dia tertawa terbahak-bahak. "Kakek yakin tidak!"
Matanya berkilau. Â Dia menikmati kesenangan seperti anak kecil. Aku tidak bisa menahan senyum karenanya.
"Beri aku waktu untuk berpikir, Kek. Tidak terbuat dari kertas dan tidak bisa dimakan. Apakah itu sesuatu yang bisa dipakai?"
"Ya, tapi kamu harus lebih spesifik."
Aku mengunci tatapanku padanya, mencoba membaca apa yang ada dalam pikiran Kakek.
Selama beberapa saat, pemandangan dan bau ruang makan lenyap. Aku tak lagi mendengar gumaman penghuni panti dan pengunjung lain, atau dentingan piring beradu sendok garpu. Aroma roti bakar yang menguar hangat telah berhenti menggelitik hidungku.
Saat-saat seperti inilah yang membuatku marah pada alam semesta. Mengapa kakek tidak dibiarkan menua dengan anggun dan bermartabat? Mengapa dia harus kehilangan ingatannya yang tajam, kepribadiannya besar dan selera humor yang luar biasa yang sangat kucintai?
Tidak adil jika kenangan seumur hidupnya hilang kecuali sedikit yang tersisa.
Pikiranku berkabut dan masam. Emosi pasti tercermin di wajahku. Kebiasaan yang tak kusuka.
"Apa masalahnya? Kamu terlihat kesal," tanya Kakek dengan ekspresi khawatir, menambah kerut di wajahnya.
Aku membuang pikiran tidak menyenangkan yang meracuniku untuk kesejuta kalinya, sadar bahwa harus memusatkan perhatian pada pria yang duduk di seberang, menyerap setiap senyum dan gelak tawa. Meskipun tak mudah menyingkirkan gelembung emosi yang bersemayam di hati, aku pasti bisa mengubah tampangku menjadi lebih manis.