Orang lainlah yang membuat keputusan untukku, karena apa pun yang aku putuskan ternyata salah.
Ini semua tentang mengenal batas, dan aku tidak bisa berhenti di ujungnya. Aku bergaul dengan mereka yang mempunyai masalah yang sama denganku. Dua tahun di Rumah Sakit Jiwa yang dikhususkan untuk penjahat gila, karena mencoba membakar Istana.
Aku punya alasan kuat. Aku memberi tahu mereka bahwa aku adalah keturunan Prabu SIliwangi. Mereka mengusirku, dan aku bersumpah akan membalas dendam.
Aku menyiram sejerigen bensin ke pintu masuk tempat pengawal berjaga di siang hari bolong, lalu menyalakan api. Itulah yang membuatku menjadi 'tidak dapat dipidana karena gangguan mental.'
Aku keluar dengan pembebasan bersyarat. Orang tuaku membayar sewa rusunawa untukku. Mereka selalu menjadi pendukungku.
Aku menjauhi obat-obatan terlarang dan meminum obat yang diresepkan dokter. Dan kini aku harus menguji diriku lagi.
Duduk di seberang meja makan, pasien Rumah Sakit Jiwa yang buron: Obbie Palopo. Badannya menggigil, mulutnya meracau karena narkoba.
"Kau satu-satunya temanku," katanya.
Wajahnya terpampang di semua saluran televisi setelah dia tidak kembali ke rumah sakit dari kerja luar. Program "Pembauran". Staf bodoh itu memercayainya.
Robot menerima bayarannya dan naik taksi ke pusat kota untuk membeli barang haram itu. Rumah sakit melapor ke polisi. Polisi mengadakan konperensi pers.