Meski September masih jauh, bahkan belum memasuki Agustus, tetapi ketika aku berjalan ke arah pohon ki hujan tua di sore hari, ada sesuatu yang berbeda di udara. Cuaca sedikit dingin, bau debu, dan aku bisa merasakan musim hujan datang.
Awan yang tersebar di atas pegunungan, suara guntur samar di kejauhan. Mungkin akan turun hujan nanti.
Bagus, kita memang membutuhkannya.
Rumputnya kering kekuningan membuat suara berderak di bawah kakiku, tetapi jika hujan sampai sejauh ini, hanya akan menjadi satu atau dua percikan. Bukan ada apa-apa dibandingkan badai yang akan terjadi di akhir tahun, bahkan mungkin awal Februari jika kita beruntung.
Pohon ki hujan tua terlihat agak kering. Daunnya kehilangan warna hijau tua yang biasa selama berbulan-bulan musim hujan. Sekarang lebih banyak warna kelabu.
Aku berjalan ke pangkal pohon dan mengambil posisi biasa, duduk bersandar membelakangi batang pohon, melihat ke bawah lereng ke arah sungai yang berdeguk lembut. Meski tersembunyi dari pandangan mata, di balik pepohonan tepi padang rumput yang jauh.
Tidak ada makhluk hidup yang terlihat. Sapi dan kambing telah dijual ke kota bulan lalu. Burung-burung tampaknya telah menemukan tempat lain untuk bertengger, menjauh dari kemarau saat ini.
Awan dan guntur dan rumput mati. Pemandangan yang sesaat, sebelum tiba-tiba matahari turun menyembul mengubah rumput menjadi hamparan emas.
Kabut meliput pegunungan dan awan membayang di rerumputan. Hening menyelimuti.
Aku menyandarkan kepala ke batang pohon, menatap ke atas, cabang-cabang berputar dan berputar seperti pembuluh darah di langit.