Geser. Bip! Geser. Bip! Geser. Bip!
Jam kerjaku masih dua jam lagi sebelum berakhir. Bunyi alat pembaca batang bagai mantra pembangkit migrain yang menggetarkan urat sarafku, diaduk-aduk silau lampu inframerah penerawang uang palsu.
Tetap saja, terpampang di balik maskerku adalah senyum setengah terpaksa, 'attitude'Â yang menurut manajer akan membuat ... ah, promosi menjauh. Bisakah aku berharap sampai ke situ?
Mungkin kalaulah sampai 'kenaikan' itu terwujud, aku akan menambah beberapa kemewahan kecil ke dalam rencana masa depan: frappucino dengan cokelat chip yang mewah, cokelat yang manis dalam cangkir plastik tinggi. Sayangnya, untuk saat ini itu aku belum bisa merasakannya karena selalu kekurangan uang.
Memindai kotak-kotak oatmeal, sekaleng biskuit ke dalam tas, aku memeriksa belanjaan wanita yang keriput---kurus, tepatnya---sementara dia menyisir rambutnya yang pendek dan keriting dengan jari-jarinya dan meletakkan kue tart di ban berjalan.Â
Kue tart setengah harga, salah satu barang kedaluwarsa-hari-ini di toko roti kami. Siapa pun yang membeli itu harus dikasihani.Â
Dia datang setiap minggu dan selalu membeli kue, kedaluwarsa atau nyaris kedaluwarsa
"Siapa yang berulang tahun hari ini?" Aku bertanya sopan. Senyum palsu klasik muncul di bibirku dari balik masker.
"Oh, tidak ada," jawabnya, "tapi rasanya sedih jika kue secantik ini sia-sia ketika ada begitu banyak yang harus dirayakan."
Begitu banyak untuk dirayakan? Apakah dia tidak punya televisi di rumahnya? Pandemi, depresi ekonomi, bunuh diri, kriminalitas, perang ... dunia kita bukanlah sesuatu yang patut untuk dirayakan.
Nenek tua itu sepertinya melihat kebingungan di mataku karena dia menjelaskan: