Malam musim panas yang pendek di bulan Juli.
Kita berbaring di gundukan rumput. Â Kamu mengarahkan laser pointer jauh ke langit yang cerah, menembakkan selarik sinar oranye dari semak belukar padang ilalang.
Kamu menyipitkan mata, mengikuti jejak oranye yang meluncur ke konstelasi yang berkelap-kelip. Biduk Kecil---Ursa Minor---sangat mudah dikenali.
"Mengapa kamu terus menunjukkan bintang purba yang sama?" Aku menyepak gumpalan debu awan saat kita berbaring berdampingan.
Peternakan milik ayahmu berdampingan dengan resort yang baru dibeli keluargaku. Di sini radius sepuluh kilometer dianggap dekat, tetapi bagaikan jarak antarbintang untuk seorang remaja kota sejak lahir yang begitu terbiasa dengan hutan beton tanpa bintang di langit yang terang benderang terpolusi cahaya lampu listrik.
Topi klub tim sepak bola kesayanganmu---aku masih tak paham mengapa olah raga dengan benda lonjong dan nyaris tanpa menendang itu kalian sebut 'sepak bola'---bertengger manis di kepalamu, dengan kuncir kuda pendek yang dikepang mencuat ke belakang saat kamu menatap bintang-bintang.
Kamu mendengus. "Apa maksudmu? Itu Bintang Utara, Polaris. Bintang terpenting di jagat raya."
Cahaya oranye menari berputar-putar mengorbit Polaris, membentuk lintasan elips di titik cahaya putih terang. Debu di pipimu gagal menyembunyikan rona merah ketika mata kita berserobok.
Bintang-bintang di langit memancarkan cahaya pucat yang cukup untuk membuatku melihat perubahan gradasi warna di wajahmu saat dahimu berkerut serius.
"Betul, tapi kita mengamatinya ... setiap malam dalam minggu ini. Apa yang membuatnya istimewa?"
Kamu melambaikan tangan melengkung melintas cakrawala. Menarik garis tegak lurus ke langit. "Polaris diam tidak bergerak, selalu ada di sana."