Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ruang Ujaran Kebencian

11 Juni 2021   19:56 Diperbarui: 11 Juni 2021   20:15 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya wajar saja, padahal tidak.

Yang mengejutkanku, semua video yang kutonton tentang perayaan para pemenang adalah mereka yang paling kejam, paling dominan, yang menjadi juara melalui perkelahian dan pembantaian.

Itu adalah pemikiran aneh yang ke dalam otakku ketika mereka membawaku ke Ruang Ujaran Kebencian. Aku pikir aku sudah siap. Aku pikir karena aku tahu itu yang terjadi, maka aku tak perlu terkejut.

'Ini konyol' kataku dalam hati. 'Hukuman yang bodoh'.

Tetapi kenyataannya adalah, ketika kamu mendengar kebencian yang mentah, ketika matamu ditantang tanpa penyesalan saat sebuah kalimat keji dilontarkan, maka kebencian melumpuhkanmu.

Ruang Ujaran Kebencian berupa gelembung kaca gelap. Orang-orang---para hakim---berada di sekeliling gelembung. Semuanya mengenakan toga. Wajah mereka biasa, tapi auranya seperti segerombolan massa yang siap membunuh dan mengulit pencuri sandal jepit, sampai tinggal tulang.

Pertama-tama adalah 'keterbukaan'. Jamak saja, pikirku. Telanjangi diriku maka aku akan rentan, lemah. Sederhana sekali.

Kemudian, Ujar Kebencian dimulai.

Acungan tinju melayang ke udara dan kata-kata hinaan meledak melalui pengeras suara.

'Kau tolol! Kau menyedihkan! Hidungmu besar! Ngaku laki-laki tapi anumu tak lebih besar dari sekrup jendela!"

Aneh bukan? Tetapi meski sepintas, jelaslah penghinaan fisik yang mereka lontarkan berdasarkan informasi rincian paling pribadi dalam hidupku, beberapa yang bahkan aku sendiri tidak tahu.

"Bapakmu bilang kamu tidak berguna, ada rekamannya saat dia mengatakan hal itu kepada ibumu. Ingat ketika dia menamparmu waktu kamu berusia lima tahun? Itu karena kamu mengecewakannya, pecundang kecil yang tidak bisa punya prestasi apa pun. Dan istrimu, dia memimpikan pria lain, dia punya akun Tinder. Kamu membawa sial bagi semua orang yang kamu cintai, makanya mereka semua membencimu!"

Setengah jam kemudian mulai terasa menyakitkan.

Semuanya yang mereka lontarkan berdasarkan data yang mereka miliki. Sangat pribadi. Mereka berteriak, mereka jahat dan kamu tidak punya cara untuk membela diri. Kamu diikat di kursi, dan dipaksa untuk mendengarkan.

Para penghujat adalah orang-orang asing yang menelan kehidupanmu selayaknya sepiring makanan untuk kemudian dimuntahkannya kembali padamu.

Aku tidak tahu apakah dibayar atau sebagai sukarelawan, tetapi aku menebak mereka ada di situ karena mereka merasa perlu.

Mata menyala seperti api. Banyak hal yang harus mereka bongkar. Aku sama sekali tidak bisa mengerti mengapa aku menjadi target yang begitu meyakinkan, begitu cepat membangkitkan kemarahan mereka, sementara mereka belum pernah bertemu denganku sekali pun.

Ujaran Kebencian itu kasar. Jiwaku terguncang pada akhir sesi tetapi aku menerimanya. Itu sepadan dengan komentar yang kubuat di media sosial tentang Presiden. Aku tahu itu akan menginspirasi seseorang di suatu tempat untuk menjadi berani juga. Satu tindakan pemberontakan bisa menjadi sesuatu yang memicu perubahan, mungkin.

Aku tidak mengharapkan tahap selanjutnya, itu adalah sesuatu yang tidak pernah disebutkan dalam hukuman. Mereka membawaku bertelanjang melalui orang-orang yang marah. Mereka diizinkan untuk melempar buah dan telur busuk dan benda kecil lainnya, dengan cara yang sangat menyakitkan sehingga aku meminta bantuan penjaga, tetapi tentu saja permintaan tolongku sia-sia.

Aku ditempatkan di kursi lain di ruangan gelap lainnya. Aku bertanya-tanya apakah kali ini aku akan dibacakan sebuah putusan pengadilan. Ritual yang masuk akal setelah serangan bertubi-tubi. Terengah-engah. Sebenarnya pelecehan itu rasanya seperti angin sepoi-sepoi dibandingkan perlawanan saat pertama kali aku dibekuk. Tetapi tetap saja, hinaan itu hanya satu arah.

Satu suara laki-laki, yang dingin tanpa empati sama sekali, berkata nyaring.

"Sepuluh pukulan ke wajah."

Aku mengerjap bingung. Apa-apaan ini? Yang aku tahu dari kehidupan perjuangan, sepuluh pukulan di wajah dapat merusak atau membunuhku.

Dari kegelapan muncul seorang Pelaksana Keadilan, begitu mereka menyebutnya. Aku hanya melihat mereka di berita yang yerkait dengan pengunjuk rasa, tapi tidak pernah sedekat ini.

Seorang pria berwajah sekeras batu gunung dengan T-shirt abu-abu. Otot-ototnya menonjol, dan dia menatapku seakan-akan aku adalah parasit yang harus dimusnahkan. Tanganku dan kakiku terikat, jadi tidak ada jalan untuk membela diri.

Pukulan pertama merontokkan gigi depanku. Aku hampir keselek saat mereka meluncur ke tenggorokanku, begitulah kuatnya pukulan si Pelaksana Keadilan. Pukulan kedua membuat mata kiriku buta. Yang ketiga memberi benjol sebesar telur di dahi. Yang keempat meretakkan rahangku. Pukulan kelima ... pukulan kelima membuatku koma.

Aku kemudian berasumsi lima pukulan yang tersisa tetap dilaksanakan sesuai dengan hukuman, karena ada cedera tambahan. Wajahku berantakan seperti lukisan Picasso.

Aku terbangun di rumah sakit tiga hari kemudian.

Sebuah tim yang terdiri dari tiga administrator telah dikirim untuk berada di sisiku saat mataku yang tersisa terbuka perlahan.

Mereka tidak tersenyum atau menunjukkan iba untuk luka-lukaku.

Mereka bilang bahwa hukumanku telah dilaksanakan, dan seumur hidupku aku dilarang memiliki gawai pintar.

Jika aku melakukan sesuatu yang melanggar hukum lagi, mereka akan memenggal leherku.

Aku berbaring di tempat tidur. Hanya Ruang Ujaran Kebencian yang bisa kuingat. Hinaan. Sialan. Sangat mengerikan. Sangat sakit.

Membuat saya sadar bahwa aku rapuh, seperti ranting kering di injak sepatu tentara.

Dalam hal ini, Pemerintah sudah benar. Jika kamu dapat melihat segalanya, kamu dapat mengendalikan segalanya, itu jelas.

Aku sadar---saat mereka pergi---tanpa gawai pintar akan lebih sulit melacakku.

Lain kali, aku harus lebih berhati-hati.

Bandung, 11 Juni 2021

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun