Aku mengerjap bingung. Apa-apaan ini? Yang aku tahu dari kehidupan perjuangan, sepuluh pukulan di wajah dapat merusak atau membunuhku.
Dari kegelapan muncul seorang Pelaksana Keadilan, begitu mereka menyebutnya. Aku hanya melihat mereka di berita yang yerkait dengan pengunjuk rasa, tapi tidak pernah sedekat ini.
Seorang pria berwajah sekeras batu gunung dengan T-shirt abu-abu. Otot-ototnya menonjol, dan dia menatapku seakan-akan aku adalah parasit yang harus dimusnahkan. Tanganku dan kakiku terikat, jadi tidak ada jalan untuk membela diri.
Pukulan pertama merontokkan gigi depanku. Aku hampir keselek saat mereka meluncur ke tenggorokanku, begitulah kuatnya pukulan si Pelaksana Keadilan. Pukulan kedua membuat mata kiriku buta. Yang ketiga memberi benjol sebesar telur di dahi. Yang keempat meretakkan rahangku. Pukulan kelima ... pukulan kelima membuatku koma.
Aku kemudian berasumsi lima pukulan yang tersisa tetap dilaksanakan sesuai dengan hukuman, karena ada cedera tambahan. Wajahku berantakan seperti lukisan Picasso.
Aku terbangun di rumah sakit tiga hari kemudian.
Sebuah tim yang terdiri dari tiga administrator telah dikirim untuk berada di sisiku saat mataku yang tersisa terbuka perlahan.
Mereka tidak tersenyum atau menunjukkan iba untuk luka-lukaku.
Mereka bilang bahwa hukumanku telah dilaksanakan, dan seumur hidupku aku dilarang memiliki gawai pintar.
Jika aku melakukan sesuatu yang melanggar hukum lagi, mereka akan memenggal leherku.
Aku berbaring di tempat tidur. Hanya Ruang Ujaran Kebencian yang bisa kuingat. Hinaan. Sialan. Sangat mengerikan. Sangat sakit.