Sepertinya wajar saja, padahal tidak.
Yang mengejutkanku, semua video yang kutonton tentang perayaan para pemenang adalah mereka yang paling kejam, paling dominan, yang menjadi juara melalui perkelahian dan pembantaian.
Itu adalah pemikiran aneh yang ke dalam otakku ketika mereka membawaku ke Ruang Ujaran Kebencian. Aku pikir aku sudah siap. Aku pikir karena aku tahu itu yang terjadi, maka aku tak perlu terkejut.
'Ini konyol' kataku dalam hati. 'Hukuman yang bodoh'.
Tetapi kenyataannya adalah, ketika kamu mendengar kebencian yang mentah, ketika matamu ditantang tanpa penyesalan saat sebuah kalimat keji dilontarkan, maka kebencian melumpuhkanmu.
Ruang Ujaran Kebencian berupa gelembung kaca gelap. Orang-orang---para hakim---berada di sekeliling gelembung. Semuanya mengenakan toga. Wajah mereka biasa, tapi auranya seperti segerombolan massa yang siap membunuh dan mengulit pencuri sandal jepit, sampai tinggal tulang.
Pertama-tama adalah 'keterbukaan'. Jamak saja, pikirku. Telanjangi diriku maka aku akan rentan, lemah. Sederhana sekali.
Kemudian, Ujar Kebencian dimulai.
Acungan tinju melayang ke udara dan kata-kata hinaan meledak melalui pengeras suara.
'Kau tolol! Kau menyedihkan! Hidungmu besar! Ngaku laki-laki tapi anumu tak lebih besar dari sekrup jendela!"
Aneh bukan? Tetapi meski sepintas, jelaslah penghinaan fisik yang mereka lontarkan berdasarkan informasi rincian paling pribadi dalam hidupku, beberapa yang bahkan aku sendiri tidak tahu.