Nasib menginginkan keheningan, tetapi itu adalah satu-satunya hal yang tidak akan pernah dia miliki.
Dia harus pindah. Bagaimana tidak?
Dia tinggal di wisma ketika ada uang, dan di sofa rumah teman ketika tidak punya. Emperan toko, ketika tidak punya teman.
Dia melatih dirinya mengalami kondisi fuga*, pelepasan pikiran dari tubuh yang membiarkannya beristirahat, setidaknya untuk sementara waktu. Saat dia berada di tepi laut, maka dia akan tidur di pantai, setidaknya sampai dia ditemukan dan disuruh pindah. Lagi.
"Hati-hati dengan ombak, sayang," seorang lelaki tua menasihatinya. Rambut putihnya alami dan gigi putihnya palsu, senyumnya acuh tak acuh. "Akan membawamu ke dasar samudra jika kamu tidak hati-hati. Jadi, hati-hatilah."
Tetapi bahkan ketika Nasib menutup matanya dan tertidur, ombak tidak pernah mengapainya.
Dia bertemu seorang gadis bernama Kara di sebuah kafe di Banyuwangi, atau mungkin di Sukabumi, mungkin juga Singkawang, dan jatuh cinta.
Kara berusia delapan belas tahun dan cantik, penuh semangat. "Aku akan ke Jakarta," katanya. "Penyanyi dangdut. Di sanalah aku harus berada, jika ingin berhasil. Aku akan berhasil. Aku tahu itu pasti, karena aku tahu begitu saja."
Nasib memeluknya, meletakkan pipinya di kulit cokelat hangat dan menghirup wangi sampo lavnder. Tentu saja Kara takkan berhasil, dia tahu. Tentu karena dia tahu, dan dia tahu begitu banyak.
"Semua penyanyi dangdut cantik di Jakarta," katanya. "Mereka semua penuh dengan nyala api, mebuat Jakarta menyala terlalu terang, terlalu menyilaukan, dan tidak ada yang akan melihatmu. Kamu akan ditinggalkan sendirian dalam kegelapan, tersesat. Kegagalan rasanya seperti candu yang membuat tikus berlarian."
Kara menangis, dan Nasib meninggalkannya diri di tengah malam. Dia tidak bermaksud kejam, tetapi terkadang itu terjadi seperti itu.