Kunrad dan aku selalu bertemu untuk ngopi di kafe setelah pulang kerja Jumat sore, ritual yang kami lakukan untuk merayakan keberhasilan mempertahankan pekerjaan dari minggu lalu. tetap sebagai pekerja satu minggu lagi. Maksudku, tidak banyak yang menyukai pekerjaan sebagai sales polis asuransi apalagi di masa sulit dengan uang ketat.
Aku senang kok, melakukan pekerjaan ini meskipun itu berarti pindah ke kota lain. Menjual polis asuransi adalah sesuatu yang bisa kulakukan dengan baik dan Kunrad adalah teman baik - satu-satunya yang kupunya di sini.
Langit senja lembayung pucat.
Aku melihat seorang pengemis berjongkok di bawah lampu jalan di alun-alun yang berjajar berselingan dengan pepohonan. Sama sekali tidak tampak seperti patung taman yang salah letak. Wajahnya tegas meski kotor yang melekat seperti sudah mendarah daging sejak lama. Kerah jas butut yang dia kenakan tegak, semacam penanda martabat yang masih dimilikinya. Dia memainkan suling bambu butut dengan nada tinggi dan sedih menyayat hati. Benda itu satu-satunya yang dipunyai, karena aku tak melihat barang lain. Satu-satunya caranya berekspresi, nada acak yang lahir dari kesepian dan udara dingin.
Aku merasakan hal yang sama - dingin, maksudku - dan sangat menyadarinya, mungkin karena seharian hujan. Jadi aku bertanya pada Kunrad, karena dia tahu segalanya tentang kota ini.Â
"Bagaimana dia bisa berakhir seperti itu?" aku bertanya, merogoh saku mencari uang receh dan tidak menemukannya. "Judi, ya?"
"Ah, Bratasena. Legenda di sini," jawab Kunrad. "Orang hebat, dulu. Dia yang mengendalikan Metropolis."
"Wow, Maksudmu, Bank Metropolis? Pemilik?"
"Direktur Utama. Tidak pernah berlibur. Kerja kerja kerja. Sebelum kecelakaan itu."
"Kecelakaan? Tabrakan?"
"Bukan. Suatu malam dia pulang lebih cepat dan tidak sengaja menemukan  istri dan dan sahabatnya ... Dia punya izin senjata api. Tidak sengaja menembak mereka enam kali dan mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri. Jadi headline news."