"Karena Iblis tidak mau membukakan pintu bus mewah itu untukku, maka aku memecahkan kaca jendela dan melompat keluar melalui pecahan kaca sementara mereka berteriak-teriak. Aku jatuh terguling-guling di bawah tanah, di dalam liang gua yang dingin dan gelap. Entah berapa lama aku merangkak naik turun menyusuri lorong gua, sampai seluruh ototku sakit dan hampir tak mau diajak bekerjasama, dan akhirnya aku mencapai permukaan. Aku keluar seperti ini, "dia menunjuk pada dirinya sendiri," hanya dengan apa yang menempel di badan. Tapi itu sepadan, untuk keluar dari sana dan melihat sinar matahari."
Sebetulnya aku masih punya banyak pertanyaan untuknya, tetapi ustaz Tajul menemukanku dan menyeretku dengan menarik telingaku kembali ke kelompok, dan aku tidak pernah melihat pria itu lagi. Ustaz Tajul kemudian menjelaskan bahwa gelandangan itu diizinkan tinggal sementara di masjid karena katanya dia ingin mendapat kesempatan kedua. Masjid kampungku bukan baru sekali ini memberi para tunawisma tempat tinggal selama mereka tidak membuat masalah.
Aku tidak akan pernah melupakan lelaki gelandangan di Masjid Al Ikhlas, masjid kampungku
Aku selalu mengingat ceritanya saat aku iri pada teman dengan motor dan mobil mereka. Atau saat berada di suatu pesta dengan segelas minuman di tangan.
Aku paling sering mengingatnya ketika meluangkan waktu untuk memberikan uang kepada para gelandangan atau mendengarkan pengakuan teman-teman yang berada dalam situasi yang sulit, karena mengutuk orang lain atas kesalahan mereka adalah ciri khas Iblis.
Dan mungkin kelak ketika putraku sudah cukup besar, aku akan berkata kepadanya: "Pernahkah kamu mendengar bahwa ada kapal yang membawa jiwa-jiwa orang mati menuju Neraka Bawah Tanah? Sebenarnya itu bukan kapal, tapi bus mewah antar kota antar provinsi."
Bandung, 4 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H