Dia duduk dan mengamatiku.
"Siapa namamu, Nak?"
"Ahmad Naufal," kataku.
"Nah, Mamat. Kamu mau mendengarkan aku menceritakan sebuah cerita? Ini bukan macam cerita yang kamu dengar dari ustaz, tapi mungkin seharusnya begitu."
Gelandangan itu adalah orang pertama yang memanggilku Mamat, meskipun, ketika aku meninggalkan kampung halaman, aku menjadi Mamat selama sisa hidupku.
"Mau," kataku, duduk bersila dua meter darinya, meletakkan siku di atas lutut.
"Pernahkah kamu mendengar bahwa ada kapal yang membawa jiwa-jiwa orang mati menuju Neraka Bawah Tanah?"
Aku mengangguk. "Tapi bukan dari ustaz," kataku. "Aku baca dari buku."
"Sebenarnya, itu bukan kapal," katanya, "tetapi bus antar kota antar provinsi yang luar biasa mewah. Bus itu melaju ke tepi jalan tempat kita berdiri dan meminta kamu untuk melompat naik."
"Suatu hari, aku sedang berdiri di tepi jalan karena sesuatu yang buruk telah terjadi dan aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Bus yang sangat bagus ini berhenti tepat di depanku. Aku naik."
Mataku melebar.