Kelompok pengarang itu berkumpul pada Minggu pagi.
Singkong bakar terasa pahit. Lely bereksperimen dengan teh herbal.
Mereka berkumpul di ruang tamu, di dekat jendela yang terkunci mati. Ani, yang tidak pernah lupa kisah Mahabratha, berkata, "Mengapa tidak ada lagi dongeng dengan akhir bahagia selamanya?"
Semua orang mengangguk, berebut berceloteh.
"Jika terserah aku," kata Bay, "Rama sebaiknya disiksa sampai mati oleh KGB."
"Lebih baik lagi oleh harimau," Rita memprotes. "Penjara terlalu bagus untuknya."
Kesepakatan yang kuat.
Kopi didinginkan dengan cara ditumpahkan ke piring kecil. Uap yang menguar menebarkan harum defekasi luwak dari dataran tinggi jauh di seberang pulau.
Kelompok ini sangat menjunjung semangat persatuan musyawarah dan mufakat. Mereka jarang berselisih pendapat, lebih memilih menggabungkan kekuatan pikiran dalam menangani plot untuk kelanjutan naskah novel pada putaran berikutnya. Sudah seminggu berlalu setelah mereka menyelesaikan putaran keduabelas round-robin 'Suami Keparat atau Istri Psikopat?' yang digagas Bay.
Icha datang melambaikan novel Kamp 13.5 karangan Mahiwal. "Di sini, halaman 119!"
Mereka berkerumun melihat. Hilang sudah penyesalan Rita yang terlambat saat dia membaca paragraf yang bermain tentang akhir petualangan Devi menuju antiklimaks. Sebagai gantinya adalah deskripsi grafis dari penderitaan di saat menemukan bahwa kecerdasan buatan yang diciptakan kakek tokoh protagonis ternyata bohong belaka.