Profesor Manan masuk ke lab departemen fisika yang terletak di bawah tanah Universitas Negeri Serpong dan menatap Mahiwal, penemu mesin waktu.
Bocah jenius itu sedang membungkuk di atas meja kerjanya, mengutak-atik ponsel. Suara samar David Byron menyanyikan menyanyikan "Traveller in Time" bocor dari headphone-nya. Selera musiknya aneh.
Manan menepuk bahu Mahiwal. Bocah itu tersentak kaget dan berbalik. Melihat Manan lalu tersenyum.
Dia menaruh headphone ke atas kotak pizza yang bernoda minyak. "Hei, Prof. Kupikir aku satu-satunya manusia yang bekerja Sabtu malam."
Mana mencengkeram pistol di saku jaketnya. Dia membenci Mahiwal, satu-satunya mahasiswa pascasarjana yang bergaya seperti profesor. Dia membenci karena kesombongan Mahiwal tidak salah tempat. Mahiwal lebih hebat dari profesor mana pun. Majalah People mengatakan dia mungkin lebih cemerlang dari Einstein. Manan tidak bisa membantah penilaian itu.
"Saya ingin memeriksa ulang data itu dari kemarin."
Alis Mahiwal terangkat.
"Itu tidak bisa menunggu?" Dia menunjuk tangan Manan. "Cuaca panas kok pakai sarung tangan, eh, Prof?"
"Tangan saya lecet," Manan berbohong, lalu mengubah topik pembicaraan. "Ada yang salah dengan ponsel Anda?"
Mahiwal menyeringai lebar. "Kita tidak perlu menggunakan akselerator partikel lagi. Dengan alat ini," dia menunjukkan ponselnya, "perjalanan waktu berada di genggaman tangan."
Gaya Mahiwal persis pramuniaga infomersial televisi.