"Jadi kapan Cerita Hari Minggu Pagi dibukukan?" tanyaku pada TS--panggilan untuk Thamrin Sonata--setelah perbincangan panjang lebar tentang banyak hal. Selalu begitu.
Ini bukan kali pertama pertanyaan itu muncul. Setiap pertemuan dan komunikasi yang kerap telah menjadi pertanyaan wajib yang dijawab dengan kalimat seragam. "Segera."
Namun, ternyata komunikasiku dengan TS pada malam itu menjadi yang terakhir. Beberapa hari kemudian--Selasa, 3 November 2019--sahabat dekat sekaligus lawan debat dan guru dalam bidang penerbitanku itu berpulang.
Aku menangis. Hal yang sudah lama sekali tak pernah kulakukan. Aku menangis. Lama.
Ketika para Kompasianer menuangkan belasungkawa mereka dengan tulisan, aku bahkan tak mampu menggoreskan sepatah kata pun. Buatku, TS masih selalu ada, sampai sekarang. Aku merasakan kehadirannya di setiap stasiun KRL antara Bekasi -- Kota. Di Taman Ismail Marzuki, Palmerah dan Kemayoran. Terminal Leuwipanjang dan CFD Dago. Jakarta -- Bandung -- Yogya. Setiap kali gerimis merinai.
***
Sepeninggal TS, aku berhubungan dengan keluarga beliau. Masih ada proyek bukuku yang berkaitan dengan Peniti Media--penerbitan TS yang sering menerbitkan buku para kompasianer. Pekerjaan yang membuatku bolak-balik Bandung -- Jakarta. Cukup melelahkan, membuatku berpikir untuk membangun penerbitan sendiri. Lahirlah Pimedia.
Dari Pimedia, terbit buku 150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi, kumpulan tulisan para kompasianer dalam rangka 56th Wedding Anniversary 'Om Tjip' dan 'tante Lina'.
Dan aku teringat lagi dengan janji mas TS tentang Cerita Minggu Pagi.
***
"Boleh enggak, Om nerbitin kumpulan tulisan Papa?" aku bertanya pada Arum--Citra Arum Perdana, putri sulung TS. "Tapi pakai penerbitan Om," sambungku.
Salah satu alasan mengapa  aku membuat perusahaan penerbitan sendiri karena putra-putri TS tidak berminat meneruskan perusahaan mendiang.