Dia mengirimiku surat.
Bukan surat ekektronik, bukan. Tapi kata-kata yang ditulis di permukaan kertas dan dikirim melalui jasa jaringan kantor pos internasional. Sungguh tak lazim di zaman internet sekarang ini.
Kertas suratnya bermotif bunga dan kupu-kupu di sekitar tepi dengan aroma samar bunga lavender. Aku tak tahu apakah memang kertas itu sudah harum dari pabriknya atau dia menyemprotkan parfum ke atasnya. Yang jelas, wanginya memberi pengaruh pada yang membaca.
Dia menulisnya dengan bolpoin biru, huruf bersambung rapi tak bercela. Tak ada kesalahan sekecil apapun. Aku yakin dia menghabiskan banyak waktu untuk menulisnya, terutama karena dia tidak menulis dalam bahasa ibunya. Dia pasti telah menghabiskan waktu berjam-jam dengan buku kamus dan bolpoin serta lembaran kertas surat yang wangi.
Aku membayangkan dia minum teh sambil menulis, secangkir kecil camomile di atas tatakan keramik, mungkin berwarna biru. Mungkin juga dengan motif bunga.
Sebagai pemanis dia memasukkan dua kubus gula batu. Sepiring biskuit kecil yang biasa didapatkan di kafe-kafe sepanjang tepian Seine.
Kami hanya bertemu satu kali, di kaki lima Malioboro saat santap malam dengan gudeg. Dia bercerita tentang konser Jean-Michael Jarre sambil menghembuskan asap dari rokok menthol kecil panjang yang disedotnya dalam-dalam.
Kemudian kami minum di bar. Aku minum bir lokal tanpa alkohol, dia anggur merah. Chardonnay, mungkin. Aku mencicipinya sedikit dari bibirnya.
"Apakah setelah ini kita akan tetap berhubungan?" tanyanya.
Suaranya serak dengan aksen Paris yang seksi.
"Aku akan menulis surat untukmu," katanya.