Dahulu kala, kala masih dahulu, hiduplah seekor kodok bangkong di tepi danau yang terdapat di tengah hutan hujan semi lindung yang setengah perawan. Hari demi hari dia akan mengisi malam dengan suara tiga setengah oktafnya menyanyikan iklan tentang pelestarian alam.
Pada suatu malam di musim kemarau, seorang putri bangsawan mengenakan gaun polos tanpa simbol desainer baik berupa huruf terbalik ataupun hewan melata memutuskan untuk berjalan-jalan di hutan kediaman kodok bangkong tersebut. Ketika dia sampai di tepi kolam yang sejuk dan sedikit berbau metana akibat pembusukan daun yang gugur, dia duduk untuk beristirahat sejenak dan menghela napas panjang.
Dengan santai sang kodok meluncur dari tengah daun teratai di tengah kolam, datang menghampiri sang putri, yang helaan napasnya berubah menjadi erangan paling keras mengalahkan suara penghuni hutan lainnya.
Tidak tahan untuk berpura-pura tidak terganggu, kodok itu berseru:
"Mengapa kamu mengerang, putri?"
"Aku tidak mengerang. Aku hanya mendesah karena sedih, kecewa, sengsara dalam duka lara. "
"Baiklah. Apa yang membuatmu begitu sedih, kecewa, sengsara dalam duka lara sampai napasmu mendesah, putri? "
"Hidup," jawabnya.
"Kehidupan?"
"Betul. Kehidupan."