Dia berpura-pura merindukan suaminya, tapi sebenarnya saat suaminya pergi dia menikmati kebebasannya.
Kandang ayam dan bebek di atas kolam ikan, kemilau kristal di ladang garam yang baru mengering: semuanya tampak seperti foto-foto instagram hasil bidikan fotografer profesional.
Di bawah sinar matahari meneguk kopi tubruk langsung dari mulut ceret, menuangkan sisa ke dalam gelas yang kemudian dimasukkan ke dalam kulkas warung yang berisi teh botol kedaluwarsa. Sesungguhnya dia menikmati pemborosan listrik tersebut, meskipun tetap saja mengeluh panjang pendek saat membayar tagihan PLN.
Dia punya rahasia. Tidak, dia tidak selingkuh, hanya saja dia suka mengumpulkan kaleng dan botol plastik bekas. Dan ketika senja dibenamkan malam, dia menyusun kaleng dan botol plastik di atas bangku kayu di pekarangan belakang, lalu menjatuhkan mereka dengan batu kerikil yang ditembakkan ketapel yang telah dimilikinya sejak kelas enam sekolah dasar. Ketapel dari dahan jeruk nipis yang berduri.
Tidak hanya sekali, dia akan menyusun kembali kaleng dan botol plastik itu dan menembak dengan ketapel keramatnya berkali-kali sampai semuanya bolong-bolong atau hancur berkeping-keping. Kemudian dia akan mengalungkan ketapel itu ke lehernya yang jenjang, merasakan angin sepoi-sepoi memainkan anak rambut sembari mengeringkan keringat di pelipisnya.
Ribuan kilometer di barat, suaminya duduk di belakang bedeng kuli di sisi jalan tol, menyapu keningnya. Membuat dirinya nyaman dalam aroma jeruk nipis yang masih tergantung di pohon: bukan yang telah dipetik, bukan pula yang telah dipotong-potong, diperas atau dikupas.
Tidak hanya satu, namun ada tiga buah yang tergantung kokoh menempel ke dahan bersama daun yang yang hijau kecoklatan: hadiah untuk istrinya di desa, di mana jeruk nipis tak pernah tumbuh.
Bandung, 15 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H