Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menulis dari Dalam (Catatan 51 Tahun Kompas)

29 Juni 2016   09:44 Diperbarui: 29 Juni 2016   10:20 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menjeritkan tangis pertamaku empat minggu setelah Kompas lahir. Bisa dikatakan aku dan harian Kompas yang sebelum diruwat bernama Bentara Rakyat itu saudara, karena keluargaku termasuk pelanggannya dari edisi perdana. Entah mengapa, kami selalu berlangganan semua penerbitan dari nomor awal.

Aku sendiri lupa kapan aku mulai membaca Kompas. Menurut Ayahku, aku membaca koran sejak usia tiga tahun. Jangan tanya apa yang kubaca saat itu. Yang masih melekat dibenakku adalah komik strip Garth, yang meskipun Astra si Dewi Rembulan sering mengumbar susu, tak berpengaruh padaku yang pubernya datang terlambat. Aku mengguntingnya dan mengklipingnya dalam buku tulis. Ketika dibukukan, ternyata aku tetap juga membelinya. Kalau sekarang Gramedia menerbitkannya lagi, aku tetap akan beli (lagi), karena semua koleksiku lenyap. Entah digulung ombak tsunami, atau diloakkan adikku saat aku berkelana jauh mencari rupiah. Aku akan membeli dengan syarat bagian tubuh Astra tidak diblur seperti yang dialami Wendy teman Spongebob di televisi swasta.

Hal lain yang tak pernah luput dari mata kecilku adalah cerita bersambung. Marga T, Paul I Wellman, Parakitri, Ashadi Siregar, Frederick Forsyth, Sidney Sheldon, YB Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto, merupakan sebagian nama yang masih kuingat. Aku mengenal Musashi dari Kompas. Juga beberapa cerbung yang kuingat jalan ceritanya, namun lupa judul atau pengarangnya. Misalnya cerbung berjudul ‘Pencuri-Pencuri Intan’. Aku lupa nama pengarangnya. Atau cerbung yang berkisah tentang dua kakak beradik suku Aborigin yang tersesar di gurun pasir Australia. Jangankan nama pengarangnya, judulnyapun masih tertimbun di alam bawah sadar partisi otak yang menolak diakses. Cerbung-cebung inipun aku kliping dalam buku besar masing-masing.

Saat itu, Kompas tidak selalu hadir ‘tepat waktu’ di kotaku. Tepat waktu di sini maksudnya adalah sehari setelah terbit di Jakarta. Sering terlambat sampai empat hari, karena tidak setiap hari pesawat Fokker F28 Garuda Indonesia Airways terbang dari Jakarta ke Banda Aceh. Bahkan pernah seminggu hanya dua kali. Ngenes.

***

Kehadiran Kompas Minggu sejak tanggal 17 September 1978 menambah wawasanku. Rubrik psikologi yang dipandu MAW Brouwer dan kemudian oleh Leila Ch. Budiman memperkaya khazanah pemahamanku tentang problematika manusia.

Komik strip lokal Panji Koming karya Dwi Koendoro dan fabulisme Konpopilan menjadi favorit, begitu juga dengan rubrik sketsa Asal-Usul yang digawangi Mahbub Junaidi.  

Saat menjadi mahasiswa di Yogyakarta, kami anak kost patungan untuk berlangganan Kompas. Selain karena kebiasaan di rumah (orang tua) masing-masing, juga karena harga langganan Kompas lebih murah daripada surat kabar lokal. Anak kost ada 9 orang, sehingga sering terjadi kejar-kejaran dengan loper koran untuk menjadi pembaca pertama. Sangat sering aku mencegat loper koran di depan kampusku yang paling dekat dengan rumah kost, dan berjalan pulang dengan dada dibusungkan, sebab aku adalah pemenang.

Kompas menjadikan kami kompak. Berita utama dibacakan dengan suara keras oleh pembaca pertama, dikerumuni oleh yang lainnya. Mengisi teka-teki silang tiap hari Rabu, Sabtu dan Minggu juga menjadi kegiatan bersama. Atau membahas dengan serius tema yang diusung oleh Om Pasikom. Atau cerpen, dicoba telaah makna sebalik kata-kata. Padahal dari 9 kepala, tak satupun mahasiswa Fakultas Sastra.

Membaca Harian Kompas terus berlanjut semasa kerja. Disela-sela waktu pesan bursa komoditi Tokyo atau New York dari gedung gedung tinggi di jalan Sudirman, Jakarta. Jika punya uang, beli eceran sepulang dari pabrik di Rungkut Industri, Surabaya. Di bengkel alat berat Pertamina Bajubang, Jambi. Di Banda Aceh, Medan, di mana saja....

Dengan adanya media daring dan televisi, membaca koran terbitan menjadi jarang. Tahun 2013 menjadi tahun terakhir aku membaca terbitan Harian Kompas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun