Bermula Dari Sebuah Status
Paruh semester kedua, tahun lalu.
Ada komentar dari sob Buyut Trader alias si Manusia Kucing di salah satu status linimasaku.
“Mas, puisinya boleh tak share di grup RTC?”
“Silakan, mas *emotikon senyum*”
Tak masalah sebetulnya. Status atau foto-foto yang kubagikan publik terserah mau disebarkan tanpa perlu minta ijin. Cuma heran saja, baru kali ini ada yang tertarik dengan ‘puisi’ku.
Peristiwa itu akan jadi sejarah yang terlupakan, jika saja sob Buyut Trader tidak mengundangku ke grup Rumpies The Club (yang ternyata kepanjangan dari RTC, dan Rumpies sendiri singkatan dari Rumah Pena Inspirasi Sahabat) dua hari berselang. Karena melihat beberapa teman sudah bergabung di situ, aku ok saja. Grup yang aku ikuti buanyaaak, bahkan beberapa di antaranya sebagai admin. Tapi terus terang, aku jarang sekali aktif.
Iseng-iseng berhadiah, setiap menulis ‘puisi’ aku bagikan juga di RTC. Ternyata sambutan para Sahabat Rumpies ruaaar biasa. Jadilah aku rajin memuisi dan juga menulis prosa-prosa pendek. Tulisan-tulisan lama dari blog beberapa di antaranya aku bagikan juga. Sampai suatu ketika di awal bulan Agustus, RTC mengadakan lomba menulis puisi untuk menyambut hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70, dan nantinya beberapa puisi pilihan akan dibukukan.
“…sertakan tautan Kompasiana.” Begitulah (kira-kira) salah satu syarat sebagai peserta lomba.
Kompasiana? Otakku memutar lagi memori lama. Dulu, tahun 2009, aku pernah diajak Dalin untuk menulis di Kompasiana (K).
“Lu kan suka nulis,” katanya. Dia tahu aku suka menulis ‘sketsa’ dan ‘puisi’.
“Kompasiana itu citizen journalism,” sambungnya lagi.
Citizen journalism? Jadi wartawan, dong! Terus siapa yang mau aku wawancarai? Peristiwa apa yang dapat kuliput? Sebagai konsultan IT (saat itu, sekarang sudah pensiun dini -pen), aku hanya mewawancarai dan diwawancarai tentang hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Dan karena umumnya yang kugarap adalah proyek pemerintah, tentu tak bisa sembarangan membuat ‘berita’ yang mungkin saja sensitif. Aku tidak sebodoh Banyu Biru atau yang mengangkatnya jadi intel melayu!
Karena ingin menjajal lomba muisi-nya RTC (siapa tahu nanti puisiku terselip juga dalam buku yang diterbitkan), akun K ini lahir juga. Jangan tanya bagaimana ribetnya saat mendaftar, karena saat itu server K sedang ngadat.
Sebagai pemanasan sebelum lomba, untuk postingan pertama lahirlah puisi acakadut berjudul Rancak si Boim. Tulisan itu ditambah stiker HIGHLIGHT. Sumpah aku nggak ngerti apa maksudnya. Karena beberapa tulisan berikutnya tidak dapat gambar tempel, aku berasumsi semua tulisan perdana dapat bonus stiker.
Karena puisi yang boleh diikutsertakan dalam event lomba paling banyak 2 (dua), aku bikin saja semaksimal mungkin. Puisi pertama dengan judul [Merah Putih RTC] Berani Suci dapat stiker HIGHTLIGHT lagi. Tapi yang kedua, [Merah Putih RTC] Merdeka Itu tidak. Maka aku merasa bahwa puisi pertamaku (walaupun belum tentu menang, dan memang nyatanya tidak), bakal masuk buku. Horeee!
Yang masuk dalam buku kumpulan puisi Pelangi Cinta Negeri: 70 Tahun Indonesiaku adalah puisiku yang kedua.
Buku tersebut merupakan buku kedua RTC setelah Rampaian Perempuan Negeri, hasil lomba Cerita Mini dalam rangka menyambut hari Kartini.
Ketika kembali RTC mengadakan event bertajuk Lomba Fiksi Penggemar RTC di mana karya-karya pilihan akan diterbitkan oleh salah satu penerbit besar, sebetulnya aku sudah menyiapkan naskahnya. Hanya saja saat deadline aku mempunyai kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan sehingga gagal mengirim naskah tersebut. No regret.
Kompasianival Pertamaku
Menjelang akhir tahun 2015, linimasaku penuh dengan ocehan para sahabat tentang Kompasianival. Karena penasaran aku mencari tahu. Ternyata gratis. Ikut dong! Aku ingin berkenalan dan bertatap muka langsung dengan para Kompasianer kawakan. Tak perlu namanya kusebut satu-satu, bakal pecah rekor tulisan terpanjang di K.
Sob Buyut Trader alias Manusia Kucing mengirim pesan:
“Mas, datang ke Kompasianival?”
“Datang, sob.”
“Bisa bawa kamera?”
“Kameraku hilang. Nanti aku nyari pinjaman kamera.”
Yang hilang sebenarnya kamera Canon D70 milik kantor, dan bukan aku yang menghilangkannya. Saat kamera tersebut hilang, aku sedang tidak berada di tepat kejadian perkara. Aku sendiri tidak punya kamera. Saat ini aku menyandera kamera milik yayasan keluarga, dengan harapan dapat order untuk mendokumentasikan acara-acara yang sederhana. Dengan bayaran, tentu saja!
Jadilah aku meminjam kamera seorang teman, dengan janji bahwa aku harus menjadi fotografer kawinan saudaranya. Dari status undangan berubah menjadi fotografer sukarelawan.
Kompasianival menjadi peristiwa yang paling berkesan di tahun 2015 buatku. Aku berkenalan dan menimba ilmu dari para senior, mengenal komunitas Kompasianer yang hadir di situ, menggali tambo lama dari urang awak sakampuang, mencicipi kue-kue di booth KPK (Kompasianer Penggila Kuliner), sirup pala dan kue sagu di lapak KOMA (Kompasianer Amboina), juga bertemu dengan dua pendekar keturunan yang saling bertarung sengit dalam tulisan namun kompak di kopithiam.
Sayangnya booth Kompasianer Bandung jempling (sepi). Sampai detik ini permohonanku untuk bergabung dengan grup Kompasianer Bandung belum diterima.
Untuk panitia: saluuut!
Satu Hari Satu Tulisan
Pertemuanku dengan om Tjiptadinata Effendi saat Kompasianival, memberikan inspirasi untuk meniru semangat beliau. Dalam sehari beliau bisa menulis tiga artikel. Ternyata aku hanya mampu sehari satu. Dan sejak bergabung dengan Kompasiana tanggal 3 Agustus 2015 lalu, dengan tulisan ini menjadikan tulisanku sudah 117 artikel fiksi dan nonfiksi. Bahkan blogku yang berusia sudah sewindu isi postingannya tak sampai setengahnya. Yang lebih gila lagi, saat ini buku antologi puisi pertamaku (semuanya puisi pra-RTC) akan segera terbit. Buku kedua bermuatkan sketsa diri sedang dalam penyusunan.
Kini saatnya pamit mundur sejenak.
Kalau selama ini mungkin ada yang kurang berkenan dengan tulisan-tulisanku, termasuk yang ini, aku mohon sori dori stroberi. Tak ada niatku menyakiti hati siapapun.
Dan jika ada rating atau komentar yang tidak/belum berbalas, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Aku memimpikan K seperti facebook, dengan notifikasi yang komplit termasuk komentar dan siapa saja yang memberi penilaian. Aku jarang buka email, karena sebagai email tunggal untuk mendaftar apa saja, yang masuk dan belum terbaca sudah ratusan ribu. Akun Gmail kudapatkan saat keanggotaan terbatas dengan undangan, sebelas tahun yang lalu. Lebih mudah menghubungiku melalui pesan facebook.
Terima kasih kepada Kompasiana dan para Kompasianer yang namanya tak mungkin kusebutkan satu per satu.
Terima kasih Rumpies The Club yang telah menjadi keluargaku dan telah membuatku gila menulis. Ai lap yu pul!
Foto ilustrasi sampul buku koleksi pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H