Sejarah Singkat Sastra Sketsa
Sketsa adalah cabang sastra berupa prosa naratif, menggambarkan perisitwa secara akrab dalam gaya bahasa sehari-hari. Umumnya berbentuk cerita pendek atau cerita mini, sering mengisi kolom-kolom surat kabar atau majalah, berupa anekdot yang menyuguhkan gambaran tanpa harus memberikan saran atau kesimpulan.
Sketsa mulai dikenal pada abad ke-16 di Inggris dengan meningkatnya minat masyarakat kelas menengah terhadap realita sosial pada masa itu. Mencapai puncaknya pada abad ke 18 dan 19, yang diwakili oleh The Spectator, terbitan berkala tahun 1711-1712 yang memuat sketsa kehidupan sehari-hari masyarakat London yang ditulis oleh Joseph Addison and Richard Steele.
Beberapa pengarang sketsa luar negeri yang terkenal, diantaranya: Washington Irvin yang terkenal dengan kisah Legenda Sleepy Hollow dan Rip Van Winkle, yang dianggap sebagai cerpen-cerpen awal Amerika, meski sebenarnya merupakan adaptasi dongeng Jerman; Art Buchwald kolumnis harian Washington Post yang buku satirenya berjudul Irving's Delight: At Last! a Cat Story for the Whole Family! diterjemahkan dengan bagus sekali ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Cakar-Cakar Irving oleh salah satu penulis sketsa terbaik Indonesia, Mahbub Djunaidi; Mike Royko yang menulis untuk Chicago Daily News, Chicago Sun-Times dan Chicago Tribune; dan masih banyak lagi lainnya.
Sastra Sketsa di Tanah Air
Pada era penjajahan Belanda, sastra sketsa cukup berkembang di era itu. Para penulis baik bangsa Belanda atau kulit putih lainnya, keturunan Tionghoa, campuran atau pribumi. Namun hanya sedikit sastra sketsa yang dapat penulis sebutkan karena minimnya literatur menyangkut genre ini. Dari kalangan kulit putih, nama Jan Boon alias alias terkenal karena sketsa-sketsanya yang tertuang dalam tiga buah buku yakni: Pikeraans van een straatsijper (Lamunan seorang pengelana jalanan) dengan nama samaran Tjalie Robinson, Tjies dan Tjoek (telah diterjemahkan oleh HB Yassin) menggunakan alias Vincent Mahieu. Novel Max Havelaar karya Multatuli (nama pena Douwes Dekker) dapat dianggap sastra sketsa. Menjelang kemerdekaan, nama Idrus (penulis novel Corat-Coret di Bawah Tanah, Surabaya) layak dicatat sebagai salah satu penulis sketsa yang kemudian termasuk sebagai salah satu pelopor Angkatan 45..
(Penulis tidak membahas tentang sastra sketsa pada masa penjajahan Jepang berhubung tidak/belum mendapatkan data mengenai hal tersebut.)
Setelah Indonesia merdeka, sketsa menjadi bagian hampir setiap penerbitan berkala. Beberapa penulis sketsa mengisi kolom-kolom surat kabar dan majalah. Untuk menyebut beberapa nama: SM Ardan dan dengan sketsa masyarakat Betawi-nya, Mahbub Djunaidi dengan kolom Asal Usul di harian Kompas, Muharyo dengan nostalgia Semarang tempo dulu di kolom Gado-Gado majalah Femina, Misbach Yusa Biran dengan sketsa dunia perfileman. Meskipun sketsa-sketsa mereka kemudian dibukukan, jarang orang mengenang mereka sebagai penulis sastra sketsa.
Belum lagi pengarsipan yang buruk dari pihak penerbitan berkala (pada masa itu) membuat sebagian besar karya sastra sketsa lenyap begitu saja. Contohnya apa yang dialami oleh Firman Muntaco, sastrawan sketsa Betawi kedua setelah SM Ardan. Dari 5000 lebih sketsa yang pernah ditulisnya, hanya 499 buah yang dapat diselamatkan oleh HB Yassin.
Bagaimana dengan sastra sketsa daerah? Di harian Jawa Pos dulu penulis selalu mengikuti kolom Opo Maneh dengan tokoh Bondet dan Susan, sketsa kehidupan masyarakat Surabaya dan sekitarnya dengan gaya penulisan yang asosiatif. Entah sekarang masih ada atau tidak. Penulis juga yakin banyak harian daerah yang memiliki kolom serupa. Sangat disayangkan jika sketsa yang merekam kondisi sosial masyarakat itu tidak terdokumentasikan dengan baik seperti yang dialami tulisan-tulisan humor bang Firman Muntaco.
Penutup
Sebagai genre sastra, selayaknya sketsa tidak dipinggirkan atau dilupakan. Sketsa umumnya merupakan rekaman jujur tentang kondisi sosial masyarakat pada masanya, sehingga layak dipelihara dan didokumentasikan.
Penulis sendiri mencoba menulis sebuah sketsa serial dengan tokoh utama Wan Cimeng. Penulis menulis sketsa serial tersebut bukan dengan maksud tertentu, hanya mengutip Mahbub Djunaidi “Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. (Kesatria; Kompas, 14 Juni 1985)”