Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pencitraan Tiada Akhir

30 Oktober 2015   22:02 Diperbarui: 31 Oktober 2015   00:02 2407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Pencitraan. Imagologi. Kata yang diperkenalkan novelis Milan Kundera dalam bukunya Immortality. Dilahirkan di Brno, Cekoslovakia (sekarang Ceko) sejak tahun 1975 hidup dalam pengasingan di Perancis  sebelum akhirnya mendapat kewarganegaraan Perancis pada tahun 1981.

Ilmu yang digunakan oleh biro iklan, manajer kampanye politik, desainer segala macam benda dari mobil untuk sampai peralatan olahraga, penata busana, tukang cukur, sutradara dan pengarah gaya bintang pertunjukan yang mendikte apa yang KITA INGINKAN.

Kita diyakinkan bahwa sabun cair merk A mencuci lebih bersih dari sabun merk B yang lebih murah meskipun mengandung komposisi bahan kimia yang sama. Kita percaya jika partai berlambang anu yang menang maka kita akan makmur, dan jika sebaliknya partai  berlambang unu yang menang maka pihak kita akan hancur. Untuk itu, kita akan beradu mulut bahkan jika perlu berbaku tinju dengan perdukung partai unu.

Baju yang kita pakai didefinisikan oleh logo yang disulam di dada atau di punggung. Jika berupa lelaki mengayunkan tongkat, buaya lapar atau tiga huruf saling mengait maka citra kita akan berkilau. Jika tidak, berhambuslah dari area publik! Kita bukan mengendarai mobil, tapi bintang segitiga. Kita bukan memakai sepatu, tapi tanda contreng.

Para wanita membuka pembicaraan dengan  kata-kata “Wah….tasnya Zeus keluaran terbaru, ya?”, atau “Sudah mencoba steik di Sky Resto Hotel Marathon, belum? Mak nyuus, lho!”

Kita mengidolakan artis yang berganti kulit berkali-kali dan menanam silikon di sekujur tubuhnya. Kita menonton kisah perkawinan dan kelahiran yang entah mengapa seakan menjadi begitu penting. Mungkin jika nanti perceraian menjadi kurang ‘sakral’, maka kita akan dipaksakan untuk sukarela menikmati tayangan pisah ranjang bermerk, karena ranjang dengan merk tersebut ‘membuat perceraian lebih indah’.

Bahkan kemajuan teknologi digital makin mengukuhkan betapa pentingnya pencitraan itu. Swagambar dengan kamera telepon genggam kita oprek lagi dengan piranti lunak yang membuat kulit coklat kusam jadi putih mulus, jerawat bernanah hilang seakan diamplas dengan diamond wheel grade 5000, mata bersinar bak menemukan uang sekarung, gubuk di latar belakang berganti menara Eiffel….

Dan ketika pencitraan menjadi overdosis, kitapun menjadi lelah. Kita pulang ke rumah dengan tubuh lunglai nyeri sendi. Tak berani menatap cermin karena itu bukan wajah yang kita tawarkan untuk dunia. Kita menghempaskan badan ke kasur, meraih telepon genggam, dan membarui status di jejaring sosial:

“Hari ini asek banget, berow! Yang penting heppi!”

Tak lama kemudian suara ngorok kita membahana, membuat cicak di dinding tak jadi kawin.

 

Sumber gambar di sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun