Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Soempah Pemoeda! Ciyus Miapah?

28 Oktober 2015   04:31 Diperbarui: 28 Oktober 2015   16:28 3529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan begitu banyaknya menu bahasa yang tersedia, semangkin hari bahasa Indonesia semangkin kaya raya. Para penyair merapalkan ajian untuk menghidupkan kembali kata-kata yang sudah mendiang. Prosais menemukan kata-kata baru dari hasil hubungan gelap, kawin silang, adopsi atau dari insiden tak berdarah.

Sebelum menutup tulisan dengan salam dua tangan, penulis membuat catatan kecil tentang beberapa hal berkenaan dengan bahasa Indonesia.

  1. Setiap generasi melahirkan gaya bahasa dan budaya populer-nya sendiri. Contohnya: bahasa prokem, bahasa gaul dan bahasa alay. Ciyus miapah?
  2. Daerah juga menciptakan bahasa pop masing-masing. Contohnya: logat Medan yang memadukan dialek Batak Tapanuli dengan Melayu Deli, boso walikan Malang yang mempopulerkan kata woles dari asal kata slow yang artinya santai, atau boso walikan (yang berbeda dengan boso walikan Malang) dan plesetan Yogyakarta.
  3. Penulisan Bahasa Arab dalam huruf Latin mengalami hiperkorek.
  4. Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka wacana untuk mengganti kata-kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, yang mana daripada tidak adalah absurd. Berapa banyak programmer yang harus dikerahkan untuk mengubah aplikasi agar SELASA menjadi ANGGARA, misalnya. Lagian, bahasa Melayu dari dulu sudah berasimilasi dengan bahasa Arab. Sebelum mengenal huruf Latin, sastra Melayu ditulis dengan huruf Arab Melayu gundul plontos. Bisa-bisa nama Bapak Wakil Presiden mungkin harus diganti jadi Ucup. (Sabar, pak! Becanda….)
  5. Penyair mengartikan Licentia Poetica terlalu berlebihan, sehingga mengabaikan kaidah penulisan Bahasa Indonesia baku. “menanti ku ditutup sepi” artinya sangat berbeda dengan “menantiku di tutup, sepi”. Jangan bikin pembaca bingung. Ngapain nungguin kamu di desa Tutup, Kecamatan Tunjung, kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, padahal lagi sepi? Angkot aja ogah ngetem!
  6. Penggunaan istilah asing yang intens akan menjadikan pemakai seorang selebriti. Contohnya: Vicky Prasetyo.
  7. Untuk pejabat setingkat menteri, nama bisa menjadi kata dengan makna baru. Contohnya: tedjo (kata sifat) yang artinya tidak jelas atau menjonan (kata kerja): marah-marah menyalahkan orang lain padahal masih tedjo masalahnya.
  8. Mungkin kecuali Vicky Prasetyo, belum ada yang kaya karena menciptakan kata-kata baru.

  

Selamat Hari Sumpah Pemuda. Salam dua tangan.

Bandung, 28 Oktober 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun