Mohon tunggu...
Ayah Farras
Ayah Farras Mohon Tunggu... Konsultan - mencoba menulis dengan rasa dan menjadi pesan baik

Tulisan adalah bagian dari personal dan tak terkait dengan institusi dan perusahaan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Hilangnya Waktu di Antara Buih Sisa Jalan Lama

28 April 2020   23:05 Diperbarui: 29 April 2020   16:18 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tetesan tinta pada gelas. (sumber: KOMPAS)

Entah darimana mulanya bisa menumpahkan isi kepala
Tak terasa semakin kencang untuk bisa membubuhkan pertanda
Agar dunia mengerti akan seisinya yang memang terlalu kecil
Kecil jika semua dilarutkan dalam khayal tak berbatas

Tak tersirat lara dikala tebing nan indah memupuk rindu
Kerinduan untuk bisa diulang kembali waktu yang telah berlalu
Semua seperti rongga ruang yang dimasuki dan pernah diraba
Belum hadir para bidadari dikala jalan terjal masih dilalui

Saat itu hanya durjana dan ego tak kuasa tertahan
Berjalan terus berjalan walau jalan berbatu, kumuh dan usang
Tak ada atau tak berniat pecahkan tembok untuk sebuah jalan baru
Terngiang terompet kue putu bertenaga uap

Ada asap mengepul diantara wanginya bakaran kayu
Temaram sekali bayangan ingatan lama
Sesekali menyeka pandangan agar jelas kulihat
Berlari kecil bersama para begundal kecil
Dengan sekejap waktu

Kini begundal kecilpun tak ada lagi
Semua menjadi cerita baru
Entah di mana mereka saat ini
Sekejap namun ada jutaan catatan cerita
Tersisa derap langkah kaki kecil
Menyusup di antara ilalang dan capung
Gemercik air sejuk menjadi teman dikala surut
Justru limpahan besarlah yang diharapkan untuk bisa belajar

Ada tantangan wadah susuri riak dan hempasan
Sekalipun badai namun tak lari dan bergeming

Kini tak ada lagi ketabuan
Riak gelombang telah memberi asupan otak
Matahari menjadi penyaksi saat muncul dan tenggelam

Tiga begundal kecil menikmati aroma pagi hingga malam
Malam memanjakan dan mengusap kelopak mata
Hingga mimpi kibarkan tarinya dengan gemulai
Dendang suara jangkrik mengilik senyap ke telinga

Duhai alam indah nian manjakan kami
Seperti gong penanda ketika pagi hadir
Kaki berancang tuk jumpa para begundal kecil
Menikmati cerita tanpa sutradara berjalan sejalannya

Kilas waktu laksana kilat
Tak terasa mendekati penghujung waktu
Tak ada kabar dan tempo dalam menunggu
Hanya ada satu arah dan perintah
Maju dan terus maju kata sang waktu

Kutak kan menunggu ujar sang waktu terlihat congkak
Seperti barisan semut yang diminta berbaris menuju lumbung makanan
Tak sadar pikiran jadi tirani untuk tak bisa lepaskan muak
Waktu tak memisahkan namun jalanlah yang bisa disalahkan

Ada jutaan jalan yang bisa ditempuh
Hingga adanya kata perpisahan
Lantas bagaimana nasib para begundal kecil?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun