Ada rasa kangen dan mengingatkan ingatan saya kepada momen-momen yang indah di waktu kecil. Jakarta tempo dulu mungkin kalau boleh disebut karena memang sudah berlalu lama saat saya kecil di Jakarta. Hajatan atau syukuran yang diadakan sebagai ritual yang menjadi tradisi sangat sering terjadi di lingkungan masyarakat kota dan perdesaan. Ada hal yang ditunggu oleh para anak-anak yang menunggu orangtua yang sedang ikut dalam undangan hajatan maupun syukuran. Apalagi kalo bukan "besekan" (sebutan wadah makanan yang terbuat dari bambu).
Anak-anak yang menunggu kedatangan orangtua dari awal prosesi hajatan maupun syukuran berharap cemas menanti. Momen serunya ketika orangtua datang membawa besek anak-anak berlomba merebut untuk bisa mendapatkan besek yang berisi makanan yang dibawa dari acara syukuran. Mungkin saja di perdesaan saat ini masih ada tradisi besekan namun di perkotaan rasanya sudah langka sekali.
Ada hal yang mendorong saya ingin menulis tentang besek yaitu betapa kagetnya ketika acara syukuran kantor sajian makanan yang ada disajikan atau dikemas dengan besek . Rasanya sudah lama sekali tak melihat besek apalagi untuk acara kantor. Saya menyentuhnya dan coba meraba penuh perasaan besek bagian saya dan sontak ingatan saya melayang mundur jauh ke masa kecil. Pelan saya membuka besek bagian atas dan coba renungkan bambu yang terangkai dengan indah oleh para tangan terampil perajin yang tak tercatat namanya.Â
Ada nilai ketekunan dalam menghasilkan satu buah besek bahkan tak sebentar membuatnya karena tak menggunakan mesin ataupun robot. Ini adalah hasil karya mahakarya dan mungkin ini bisa saja hanya di Indonesia. Kehadiran besek saat ini alami pertarungan sengit diantara kemasan praktis yang terbuat dari plastik maupun styrofoam.
Saya melihat besek sebagai kearifan lokal yang kehadirannya akan tergerus dengan pesaingnya. Namun sesungguhnya alam juga khawatir karena manusia tak mampu membendung kerusakan dan dampaknya yang diterima sebagai konsekuensi kepraktisan kehidupan manusia. Ini menyedihkan dengan membayangkan daya hancur plastik dan styrofoam yang membutuhkan waktu ribuan tahun lamanya. Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik nomor dua di dunia setelah China.
Data dari KLHK yang menyebut plastik hasil dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu satu tahun saja, sudah mencapai 10,95 juta lembar sampah kantong plastik. Dari hasil penelitian Jenna R. Jambeck dari Georgia University pada 2010 menyebutkan, ada sekitar 275 juta ton sampah plastik yang tersebar di seluruh dunia, dengan sekitar 4,7 hingga 12,7 juta ton sampah berada di lautan. Ini artinya, setiap satu menit, sampah plastik yang dibuang ke laut setara dengan satu truk penuh. Sungguh mengerikan dan alam hanya bisa menerima tanpa melawan.
Industri minuman dan makanan tentu juga akan berdalih dengan menggunakan bahan plastik maupun styrofoam sangat mengemat biaya pengeluaran. Sebenarnya ini dilema atau tak ada jalan keluar? World Economic Forum memprediksi lebih dari 32 persen sampah plastik bakal tidak tertangani, hingga menjadi sampah yang berujung mengotori daratan dan lautan.
Kemasan tradisional seperti besek maupun daun pisang rasanya jadi bagian kecil atas kondisi yang sedang berlangsung. Setidaknya menahan laju serangan sampah plastik dan Styrofoam yang tak terbendung. Adalagi nilai ekonomi yang bisa dirasakan langsung dan berdampak ke para pengrajin besek dan kemasan ramah lingkungan tentunya.
Minat penggunaan kemasan ramah lingkungan akan mendongkrak tingkat ekonomi di perdesaan dengan hasil alamnya yang membutuhkan minat beli dan penggunaan produk alami. Semua ini lagi-lagi dan pasti butuh dorongan regulasi kuat para "stakeholder" dan dari kita sendiri untuk bisa kembali bergandengan tangan dengan alam yang saat ini dirasa sedang murung atas melimpahnya sampah plastik maupun styrofoam tanpa ada solusi. (Isk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H