Mohon tunggu...
Ayah Farras
Ayah Farras Mohon Tunggu... Konsultan - mencoba menulis dengan rasa dan menjadi pesan baik

Tulisan adalah bagian dari personal dan tak terkait dengan institusi dan perusahaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Anak Tanggoel (Bagian III )

27 November 2019   12:41 Diperbarui: 27 November 2019   13:40 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggoel yang kini sudah rata dan berganti wilayah elit serta berdiri bangunan Apartemen Rasuna dengan mall dan sarana-sarana berkelas lainnya ada banyak menyimpan cerita dari yang pernah tinggal sebelumnya disana yaitu warga kisaran Kebon Obat Menteng Atas, Pedurenan Kuningan termasuk saya sendiri.

Edisi kali ini menyambung dari cerita sebelumnya di Cerita Anak Tanggoel II dengan setting cerita era 80-90an di kisaran tanggoel Menteng Atas Kebon Obat, selamat membaca. edisi kali ini masih bercerita usaha yang saya jalankan dan mungkin teman-teman juga ada yang mengalami hal yang sama ditambah lagi cerita tanggoel musim kemarau.

Cari cacing
Selain ikan pak Kemat yang terkenal dengan kolam ikan hiasnya adalagi yang jadi sumber ekonomi sampingan dan bisa buat tambahan jajan saya maupun teman-teman kecil. Kali tempat kami dulu main ada cacingnya. Ya iyalah kan kali pasti ada cacing sama hewan lainnya. Cacing ini yang kita buru ada di kali jenisnya cacing rambut yang bisa buat pakan ikan hias yang tentunya kaya protein tapi khusus ikan yang makan bukan buat kita ya. 

Di tepian tanggul ada beberapa yang usaha cacing rambut yang didapat dari kali malang di sepanjang pasar rumput hingga kali depan jalan latuharhary. Cacing rambut yang didapat dari kali malang masih bercampur endapan tanah atau lumpur dibawa pulang. Setibanya di rumah hasil buruan berupa cacing rambut tanah tersebut dituang ke media beralas plastik dengan penyangga datar dari kayu kaso berbetuk segi empat.

Cacing rambut yang masih keruh diendapkan di media tersebut hingga dipetik atau dipanen ketika sudah terpisah dari tanah atau lumpur sehingga bisa dijual ke pedagang ikan hias. Lumpur sisa endapan cacing rambut dibuang kekali. Endapan lumpur yang dibuang tersebut masih ada sisa cacing rambut yang menempel di lumpur tanah. Hasil buangan endapan tersebut menghasilkan koloni koloni atau rombongan cacing rambut yang hidup di pinggir kali. Ini juga peluang bagi temen-temen kecil termasuk saya yang juga ikut berburu cacing rambut. Caranya ya sama dengan tukang cacing sungguhan. 

Hasil yang saya dapat selanjutnya saya tuang ke media endapan yang sama bentuknya dengan milik tukang cacing hanya saja media yang saya punya lebih kecil karena hasil buruan cacing rambut saya ya jauh kalah banyak dengan tukang cacing aslinya. Cacing yang sudah bersih dari endapan saya jual ke pedagang ikan gerobak secara langsung. Pasti laku dan pangsanya banyak sekali gerobak ikan yang ada saat itu dan rutin dijumpai di pagi hari. 

Tanpa sadar lumayan beberapa bulan nikmati usaha kecil jadi tukang cacing akhirnya terhenti juga. Saya rasa saya kurang bersih baik cuci tangan dan sering sakit perut terus terasa ada keganjilan kalau pas BAB. Feses saya ada cacingnya betapa kagetnya saya dan langsung teringat usaha kecil (cacing rambut) itu. 

Lantas saja saya putuskan berhenti usaha cacing rambut yang saya pikir jadi awal muncul rasa bersalah terhadap perut saya sendiri. Tapi mencari ikan pagi dengan serokan masih tetap berjalan seperti biasa dan sering juga ditanya oleh pedagang ikan tentang cacing rambut yang biasa mereka beli dan kini sudah tidak lagi saya tawarkan.

Tukang kotak amal

Suka ikut seneng liat temen-temen sebaya atau diatas usia saat itu jalan bawa kotak amal atau karung beras. Jalan menuju rumah-rumah yang tersebar di sekitar menteng atas, pedurenan menteng sawah, manggarai karet dan lainnya. Dari seneng itu terus tanya-tanya ternyata ambil kotak dan karungnya ada di sebuah mushollah RW sebelah tempat saya tinggal. Entah apa yang merasuki hingga saya tertarik jadi pencari donasi dengan kotak amal maupun karung. Terpikir saat itu ya hanya hasilnya karena sifat pembagian dengan pengurus bagi dua jika dapat beras ataupun uang tunai.

Sarana yang didapat dari pengurus mushollah juga berdasarkan kedekatan dan rutinitas yang stabil. Karena aku termasuk orang baru sekalipun datang pagi sekali jarang dapat kotak amal dan lebih sering mendapat kaleng blek minyak dengan gagang kayu. Perasaan sudah keren banget bawa kaleng blek minyak buat cari uang amal maupun beras masuk kampung keluar kampung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun