Selama ini mungkin sebagian dari kita meyakini bahwa konservatisme adalah paham yang tidak mau berubah mengikuti zaman atau paham yang meyakini nilai-nilai tradisional. Lalu benarkah pemahaman seperti itu?
Tidak salah seratus persen, namun juga tidak sepenuhnya benar. Dari saduran Ensklopedi Ilmu-Ilmu Sosial disebutkan bahwa Konservatisme atau Conservatism itu merupakan doktrin mempercayai suatu perkembangan di dalam masyarakat itu tidak boleh sampai menghilangkan akar sejarahnya. Bagi lawan mereka, kaum radikal yang menganggap masyarakat harus bertransformais secara revolusioner supaya ketidak-adilan yang ada dapat dienyahkan, harus menghadapi tembok penghalang berupa tumbuhnya pemahaman konservatisme di tengah masyarakat, sehingga menyulitkannya mewujudkan perubahan tersebut.
Di Inggris sendiri, paham Konservatisme mulai pesat berkembang dengan didirikannya Partai Whing di akhir abad 18, yang puncak kejayaannya pada tahun 1830-an. Lambat laun pemahaman itu menyebar ke negara lain, termasuk Amerika Serikat, hanya saja paham ini tidak diperlihatkan jelas seperti yang terjadi di Inggris. Contohnya tahun 1960-an di Amerika Serikat, sebagai konter partao Demokrat yang mengusung liberalisme, maka bermuncullah istilah Neo-Konservatisme di negeri itu.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kelihatannya paham semacam itu tidak didominasi oleh satu kelompok saja, memang terkadang lebih banyak diadopsi oleh kaum agamis, namun nyatanya kaum nasionalis dan sekuler juga tidak jarang mengedepakan nilai-nilai konsevatisme, tergantung dari kondisi dan kebutuhan mereka masing-masing, sehingga konservatisme ini lebih dinilai demi pragmatism belaka.
Dalam lingkup politik Orde Lama misalnya, paham konservatisme ini lebih banyak dipegang oleh partai pendukung rezim penguasa, yang ideologinya beraneka-ragam, ada merah dan hijau. Oposisinya pun juga berwarna-warni, karena adanya duet Masyumi dan PSI yang sebenarnya tidak satu ideologi.
Kemudian pada saat Orde Baru pun juga terbalik lagi, karena semua yang menjadi oposisi itu semakin gado-gado, semua yang menentang rezim, tidak dilihat ideologinya, maka cenderung akan menggabungkan kekuatannya.
Orde Reformasi menandai hal yang baru lagi. Jika saat Orde Lama, ideologi masih berani ditampilkan secara terang-terangan. Maka partai-partai yang lahir di Orde Reformasi, justru malu-malu dalam memperlihatkan jatidiri sebenarnya, mereka bersembunyi demi jargon kepentingan rakyat, dan lebih suka bermain aman demi meraih kursi sebanyak-banyaknya.
Jadi apakah konservatisme masih hidup di orde Reformasi ini? Nampaknya pemahaman itu tetap aka nada, tergantung dari nilai dan norma apa yang akan diusung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H