Pernah suatu hari penulis lagi ngobrol dengan seorang teman yang kebetulan pada saat itu baru saja selesai melatih tinju, beliau bisa jadi merupakan pelatih tinju yang cukup lama malang melintang di dunia tinju amatir. Akhir-akhir ini beliau lebih banyak menfokuskan waktunya untuk melatih tinju di Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar (PPOP) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, termasuk di Senayan.
Dari obrolan itu ada beberapa bahasan yang cukup menarik, salah satunya adalah mengenai regenerasi petinju di DKI Jakarta yang menurutnya cukup memprihatinkan. Mengapa dianggap memprihatinkan karena dari sekian banyak calon atlet petinju yang ikut didalam PPOP itu tidak sedikit yang berasal dari daerah lain, hal tersebut sebenarnya tidak masalah sepanjang yang bersangkutan tetap konsisten terus mengikuti PPOP dan kemudian pada saat sudah waktunya maka ia siap untuk membawa dan membela nama DKI di kancah tinju nasional.
Kalau seperti itu skenarionya dan berjalan mulus mungkin tidak akan banyak masalah, namun yang terjadi di lapangan adalah dari sekian banyak calon atlet tinju yang berasal dari daerah lain itu ternyata lebih memilih untuk kembali ke daerahnya dalam rangka membela asal daerahnya masing-masing setelah sekian lama mendapatkan gemblengan yang akhirnya dapat membentuk diri mereka menjadi atlit yang berkelas. Padahal sudah banyak dana dan waktu yang dikeluarkan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi DKI Jakarta dalam melakukan pembinaan sejak awal, akan tetapi justru yang menikmati hasilnya dan mendapatkan nama besar adalah provinsi lain jika petinju yang dimaksud ternyata telah berhasil membawa nama provinsi itu dalam kancah pertinjuan nasional.
Mungkin supaya para calon atlit, termasuk calon atlit tinju tersebut tidak pergi begitu saja setelah mendapatkan banyak penggemblengan dari PPOP maka perlu adanya pengikat yang membuat diri mereka jadi berpikir panjang jika mau 'kabur' ke daerahnya masing-masing. Salah satunya adalah dengan meniru metode ikatan dinas yang sudah lama diterapkan pada berbagai instansi pemerintah yang telah membiayai mahasiswa-mahasiswa yang kuliah didalam suatu sekolah tinggi maka setelah lulus dirinya harus membaktikan dirinya dan memberikan sumbangsih pemikirannya kepada instansi yang telah banyak membiayai mereka, dengan jangka waktu yang bermacam-macam tergantung kebijakan setiap instansi.
Maka apabila ketentuan semacam itu diberlakukan juga pada calon atlit PPOP, termasuk tinju mungkin perlu beberapa penyesuaian hanya saja inti kontraktualnya bisa jadi tidak banyak berbeda. Intinya harus ada seperti perjanjian tertulis antara PPOP atau Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi DKI atau instansi lainnya yang mungkin lebih tepat sebagai pihak pertama dengan calon atlit dengan para calon atlit sebagai pihak satunya.
Harus ada didalam perjanjian tersebut, klausul-klausul yang menyebutkan kewajiban yang dibebankan kepada calon atlit setelah mereka selesai atau mungkin selama masih mengikuti proses pembinaan. Kewajiban jika tidak disertai norma sanksi maka kewajiban itu tidak akan bertaji sama sekali bahkan akan jadi hanya sekedar himbuan saja, oleh dari dicantumnya klausul sanksi mesti juga harus ada. Dimana sanksinya dapat bermacam-macam, bisa berupa denda atau larangan bertanding.
Bahkan kalau dibutuhkan, level aturannya bisa jadi tidak hanya sebatas perjanjian. Untuk dapat mendapatkan efek yang benar-benar diperhatikan oleh calon atlit tidak menutup kemungkinan aturan main tersebut dapat berbentuk peraturan menteri atau kalau perlu peraturan presiden supaya lebih dapat diperhatikan oleh tidak hanya calon atlit tetapi juga oleh setiap dinas olah raga dan pusat pembinaan atlit yang ada di provinsi lain. Karena apabila berbentuk peraturan presiden maka mau tidak mau setiap pemerintah daerah juga harus menaatinya, dan larangan bertanding bagi atlit yang dianggap telah membelot dapat benar-benar diwujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H