Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Peresean, Seni Beladiri Rotan Khas Pulau Lombok

20 Oktober 2022   11:21 Diperbarui: 20 Oktober 2022   11:25 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Silih bergantinya pukulan rotan yang menghantam perisai dan kadang mengenai tubuh lawannya membuat suasana arena semakin menegangkan namun para penonton justru bereaksi dengan riuhan seru ditambah teriakan-teriakan penambah semangat. Gambaran diatas memperlihatkan jalannya pertarungan antara dua fighter layaknya gladiator-gladiator khas pulau Lombok yang sedang mempertujukkan kemampuan mereka siapa yang paling jago memainkan rotan dan tahan menahan pukulan dari lawannya masing-masing.

Jika di Filipina dikenal Eskrima atau Arnis yang merupakan beladiri yang akrab dalam mempergunakan rotan sebagai senjata utamanya, maka di Indonesia, khususnya Pulau Lombok juga memiliki tradisi pembelaan diri dengan rotan juga. Evolusi penggunaan senjatanya pun bisa jadi hampir mirip dimana pada Eskrima atau Arnis sebelumnya konon memakai senjata tajam yang kemudian diganti rotan pada era modern ini, sepertinya hal yang sama juga terjadi dalam tradisi bela diri rotan dari Pulau Lombok ini, diperkirakan sebelum rotan, mereka juga pernah menggunakan senjata tajam seperti pedang atau kelewang dan disertai perisai perunggu, mirip orang yang mau berperang.

Tradisi beladiri dari Pulau Lombok ini dinamakan Peresean atau Perisean. Selain sebagai seni beladiri, Peresean kadang dapat juga dikategorikan seni tari dan seni pertujukkan karena pada era modern saat ini Peresean lebih sering dijadikan pertujukkan seru untuk menjadi hiburan warga desa pada musim kemarau dan juga untuk menarik wisatawan domestik dan asing berkunjung dan menikmati tontonan duelnya yang eksotis.

Terdapat beberapa versi mengenai asal usul Peresean, ada yang mengatakan kalau seni beladiri ini sudah dikenal sejak masa kerajaan Lombok dimana para petarung yang juga dinamakan Pepadu harus mengikuti pertandingan Peresean sebagai tempat penyeleksian mereka untuk menjadi prajurit kerajaan Lombok. Namun ada juga memperkirakan tradisi ini dahulu lebih dikenal dengan nama Begelepekan, yang merupakan kebiasaan masyarakat pada waktu itu yang biasanya diadakan malam hari untuk saling uji keahlian ilmu beladiri dan kanuragan dengan cara berusaha saling mengalahkan atau minimal cukup menjajal lawannya saja sampai ada yang menyerah atau mengakui kehebatannya.

Pada masa itu Begelepekan diadakan agak berbeda dibandingkan Peresean seperti sekarang. Begelepekan biasanya hanya dipersenjatai pedang atau kelewang saja tanpa memakai perisai, mungkin karena memang pada masa itu yang belum ada hukum negara modern seperti saat ini membuat pertarungan dengan pedang atau senjata tajam lainnya sudah biasa seperti halnya duel-duel lainnya didaerah lain, yang tidak jarang duel tersebut berakhir mati atau cacat parahnya salah satu petarung.      

Terlebih lagi Begelepekan ini sering dilaksanakan untuk memperebutkan jatah pembagian tugas jaga dalam rangka mengamankan wilayah desa, sehingga orang-orang yang diperlukan untuk tugas pengamanan pastilah harus mereka yang telah teruji dan tangguh dalam bertarung menghadapi lawan. Ditambah untuk menahan laju ekspansi kerajaan-kerajaan lain dari luar Pulau Lombok pada waktu itu yang semakin kuat membuat desa-desa di Pulau Lombok semakin banyak membutuhkan pemuda-pemuda lokal yang dapat diandalkan untuk dapat berperang dan mempertahankan desa mereka.

Kebiasaan Begelepekan diperluas sampai wilayah barat Pulau Lombok dari awalnya banyak diadakan di desa Sapit karena dibangunnya beberapa banteng yang tentu saja harus diisi dengan prajurit-prajurit yang direkrut            dari pemuda yang telah lulus dalam pertarungan Begelepekan. Pertarungan Begelepakan pun mulai ada sedikit perubahan dengan pemakaian perisai perunggu untuk dapat digunakan sebagai pelindung dari sabetan senjata musuh.

Praktek Begelepekan pada saat itu diadakan di lapangan terbuka yang terletak di tanah tinggi, disebut juga tanah Montong. Pepadu setelah melewati penyeleksian kemungkinan besar ditempatkan di tanah-tanah subur yang kemudian didirikan benteng diatasnya, karena tanah-tanah subur tersebut terkadang menjadi incaran penyerang dari luar sehingga perlu dipertahankan.

Mungkin saja setelah kehadiran pemerintahan kolonial Belanda disana pelan-pelan praktek Begelepekan lambat laun berubah dari yang awalnya membawa pedang atau kelewang beserta perisai tembaga diganti menjadi rotan dan perisai yang terbuat dari kulit kerbau. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi risiko terluka parah dari masing-masing Pepadu karena penggunaan senjata tajam sudah tidak dibolehkan lagi.

Karena sudah tidak lagi ditujukan untuk menjadi ajang penyeleksian prajurit yang akan pergi berperang mentransformasikan Begelepekan yang secara berangsur-angsur penyebutannya menjadi Peresean berubah bentuknya dari seni beladiri yang berdarah-darah dan dapat menyebabkan kematian berevolusi menjadi seni beladiri sekaligus seni pertunjukkan yang lebih moderat dalam pertarungannya karena senjatanya diganti senjata tumpul seperti rotan yang walaupun tetap sakit dipukul rotan namun tidak berisiko sampai mencabut nyawa si Pepadu. Pelaksanaan Peresean inipun diadakan hanya untuk menjadi semacam hiburan warga pada waktu jeda antara musim tanam padi dan musim tanam bawang putih, waktu tunggu yang lama setelah musim tanam padi menjadikan para warga desa mencari kesibukan dan hiburan untuk mengisi waktu luang mereka, maka Peresean pun diadakan sebagai salah satu sarana warga desa mempereat jalinan silahturahmi yang selama ini sudah dijaga.

Rotan atau istilahnya disebut Penjalin yang digunakan oleh para Pepadu dimodifikasi sedemikian rupa, rotan tersebut dilumuri aspal hitam yang didalamnya sudah ditambahkan beberapa pecahan kaca beling yang selanjutnya diikat berulang kali dengan benang bola yang berwarna putih. Biarpun sudah tidak menggunakan pedang atau kelewang, sepertinya Penjalin yang menggantikannya tetap dapat menimbulkan rasa sakit jika mengenai tubuh lawannya. Maka dibutuhkan keahlian dan kecepatan mereka dalam menghindari dan memainkan perisainya untuk menangkis serangan Penjalin lawan. Dan itupun tidak cukup fisik yang kuat untuk dapat menahan rasa sakit juga dibutuhkan sebabnya hampir tidak mungkin bagi para Pepadu yang saling baku pukul dengan Penjalin dapat terus menerus menghindari atau menangkis karena pasti ada saja serangan lawan yang masuk mengenai tubuh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun