Suatu ketika dalam sebuah aksi penggrebekan oleh polisi, dia ditanggap. Diapun diborgol dan dibawa. Di tengah perjalanan dia kemudian merencanakan sesuatu.Â
Daripada harus dipenjara oleh polisi, lebih baik mati syahid. Apalagi polisi baginya adalah thoghut, musuh Tuhan. Jika dia mati melawan dan ditembak polisi dia akan mati syahid dan akan masuk surga. Begitu keyakinannya. Dia pun kemudian mengambil pistol seorang polisi yang ada di dekatnya. Lalu lari sekeras mungkin, dengan harapan agar segera ditembak. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ia tidak ditembak. Justru diperlakukan dengan baik oleh polisi.
 Ketika mendekam di penjara ia kemudian mulai berpikir dan merenung. Polisi, hukum negara yang selama ini dianggapnya thaghut, musuh Tuhan ternyata berbuat baik padanya. Rasa kemanusiannya tersentuh. Toh banyak juga polisi yang Muslim. Polisi juga membiarkan dia leluasa menjalankan ibadah. Jangan-jangan ada yang salah dengan doktrin yang selama ini dia yakini. Pendek cerita setelah keluar, Nasir Abbas kemudian menyakini ada yang salah dengan keyakinannya selama ini. Ada yang tidak benar dengan pemahaman jihadnya. Dia pun kemudian kemudian keluar dari JI dan terlibat dalam aksi-aksi penyadaran para mantan terpidana terorisme.
Lantas Bagaimana dengan ustaz Abu Bakar Ba'asyir: Dibebaskan tanpa syarat kah?
Saya pernah mengikuti seminar-seminar Ba'asyir. Saya juga kenal dengan teman-teman yang alumni Ngruki. Mereka adalah orang-orang yang teguh dalam berkeyakinan. Mereka --kebanyakan--berkeyakinan bahwa Islam, orang Muslim dimana-mana ditindas oleh penjajah maupun penguasa. Mereka juga berkeyakinan bahwa sistem negara sekuler, demokrasi, pancasila, pemerintah adalah thaghut, meskipun sebetunya makna thaghut bisa berbeda sesuai dengan konteks ayat (Lihat Muhaimin, dkk, "Makna Thaghut Dalam Al-Qur'an: Analisis Semantik", 2017).Â
Namun dengan sesama Muslim --atau mereka yang dianggap Muslim---mereka biasanya sangat baik hati. Loyal. Namun jika merasa agamanya ditindas, mereka akan melawan, bahkan kalau perlu nyawa pun dipertaruhkan.
Ba'syir sudah sangat tua, dan sudah sembilan tahun dipenjara. Tampaknya dia juga sudah tidak lagi mempimpin kelompok-kelompok yang dianggap radikal. Pesantren Ngruki yang dulu dia pimpin tampaknya sekarang juga sudah tidak "segarang" dulu. Ada baiknya dia dibebaskan dengan alasan kemanusiaan. Namun sebelumnya perlu didampingi secara berkelanjutan. Perlu dimediasikan dialog anatara dia dengan tokoh-tokoh Islam yang moderat.Â
Dengan tokoh-tokoh yang betul-betul paham dan menguasai ilmu-ilmu Keislaman secara mendalam, bukan sekedar ustaz-ustaz pop. Apa tujuan dia? Bagaimana keyakinan dia? Dsb. Selain itu yang penting pemerintah juga harus bisa meyakinkan dia, bahwa dia tidak sedang ditindas. Umat Islam tidak sedang dizholimi. Saya yakin dia tidak akan mau kalau dia akan dibebaskan dengan langsung diberi syarat, setia kepada NKRI.Â
Dia berbeda dengan Abdullah Thufail Saputra, seniornya yang merupakan pendiri MTA (Majlis Tafsir Al-Qur'an). Thufail misalnya pada 1984an mau menerima Azas Tunggal yang dipaksakan pak Harto, dengan strategi siyasah dakwah, menerima azas tunggal Pancasila hanya demi mengamankan agenda dakwahnya agar tidak diberangus oleh penguasa.Â
Ba'asyir dalam hal ini lebih dekat dengan Abdullah Sungkar--yang juga seniornya---dalam hal keyakinannya. Ba'asyir adalah orang yang terang-terangan, dia asli Jombang, bukan asli Solo. Dia juga juga yang sangat teguh. Maka saya kira perlu proses yang bertahap untuk bisa "melunakkan" dan mengembalikan kayakinanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H